"Sudah... berhenti . Gak pakai yang seperti itu...", mungkin merasa kalah bersaing dalam memainkan peran dalam kemasan humor.Â
"Bisa saja kamu cari cara untuk mengalihkan perhatian. Gak... pokoknya gak. Sudahlah.. Ibumu ini sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan. Sengsara adalah sahabat karibku..", tangisnya mulai keluar bersama isak dan kata-kata sama pada hampir setiap pentas pagi hari menjelang siang.
Kalau sudah begitu, kami hanya mampu bermohon ampunan dan bimbinganNya. Tiada daya menghentikan memori yang telah tertanam dalam menapaki perjalanan hidupnya. Waktu dan jarak jualah yang memaksa. Tak dapat berlama-lama mengikis kepedihan yang terpendam dalam alur monolog. Sedih, tentu saja.Â
Balada kursi tua di samping meja, saksi bisu banyak perkara kegetiran. Tak ada jalan, pelepasan energi negatif memori dan trauma cinta. Karena sulitnya bertegur sapa secara manusiawi dengan ikhlas serta penuh tanda tanya. Ada saja cerita cinta yang mengandung baris kata bersambung, tapi banyak tersisa di persimpangan jalan.Â
Aku ingin ikuti alur memori, menggali emas terpendam lumpur kesedihan. Mungkin saja kudapati berlian dan permata berselimut kabut ketidak-tahuan. Boleh jadi itu pertanda jalan, tangga ke sorga impian. Kupendam rasa cinta sejati pada kursi yang kini terdiam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H