Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kolor Gus Dur dan Kudung Nyi Roro Kidul

17 Desember 2018   13:48 Diperbarui: 17 Desember 2018   13:52 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kita masih ingat saat Gus Dur keluar Istana Merdeka hanya mengenakan celana kolor dan kaos oblong warna putih di bawah sorotan kamera wartawan dalam dan luar negeri. Peristiwa yang oleh sebagian orang dianggap menodai Istana oleh Gus Dur justru menjadi alat untuk mendinginkan suasana. 

Pendukung K.H. Abdurrahman Wahid bukan saja dari kalangan Nahdiyin, orang-orang di lingkaran Nahdlatul Ulama. Tapi banyak dari orang-orang yang selama kekuasaan Jendral Soeharto terpinggirkan. Di antaranya warga keturunan Tionghoa. Gus Dur adalah "dewa" dan itu bisa dibuktikan dari GusDurian. 

Kesederhanaan penuh makna, kedamaian utamanya. Orang boleh menilai celana kolor hanyalah sebagai perilaku yang melecehkan institusi kepresidenan. Tapi bagi Gus Dur, substansi di dalamnya lebih penting daripada sekadar menjaga harga diri sebuah atribusi.

Di masa dirinya menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar Mesir, tinggal satu kamar bersama Gus Mus (K.H.A. Mustofa Bisri). Seperti diceritakan oleh  Gus Syukri  di sini ,  cara Gus Dur menghormati tamunya dipandang aneh dan memberi kesan seolah dirinya tak tahu adab. 

Betapa tidak, cangkir yang akan dipakai untuk minum teh tamunya dibersihkan dengan celana dalam. Setelah diberi tahu yang sebenarnya, Gus Syukri dapat memahami dengan senyum simpul. 

Itu sebabnya kolor dan celana dalam acapkali jadi bahan baku gurauan  oleh dan tentang "keanehan" sikap Presiden RI ke 4 yang naik dan turunnya penuh drama. Boleh jadi, hal- hal yang ada di luar nalar awam, cukup diwakili dengan satu kalimat pendek : Gitu aja kok repot.

Drama Gus Dur diteruskan oleh kyai mbeling, Cak Nun. Saat pemakaman, Gus Dur protes sama malaikat penunggu alam kubur, Munkar dan Nakir. Kata Cak Nun, " Kat.. Malaikat, aku kok gak ditakok-takoki (aku kok gak segera diinterogasi seperti orang-orang pada umumnya)". 

Bagaimana mau diinterogasi, pelayat yang mengiringi penguburan tak pernah putus mendoakan. Jadi, malaikat menantikan jeda agar konsentrasi saat proses interogasi. Lagi-lagi oleh Cak Nun jadi bahan gurauan. 

" Dari pada nunggu, lebih baik jalan-jalan. Dan ketemu Pak Harto lagi naik truk, lalu Gus Dur memberi hormat ala militer". 

Gus Dur di mata teman-teman dekatnya acapkali menumbuhkan inspirasi yang datangnya spontan. Masih dari cerita Cak Nun, Gus Dur pernah berkirim surat kepada Nyi Roro Kidul. Isinya supaya penguasa Laut Kidul atau Samudera Hindia itu agar berjilbab. Lha dalah, opo tumon. Wong podho gendenge. 

Dari cerita di atas kita bisa memetik pelajaran bahwa hidup kadangkala perlu didramatisasi. Tapi tidak semua drama harus disikapi dengan penuh ketegangan. 

Dengan gaya humor, pesan-pesan kehidupan justru lebih mudah dicerna dan bertahan lama. Itulah guyonan para cerdik pandai yang seringkali perlu perenungan sebelum melakukan justifikasi keliru. Gitu aja kok repot.

Video : Cak Nun Soal Gus Dur dan Ratu Kidul

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun