Ringkasan Episode 5:
Sinem Michiyo menaruh hati buat Anto yang sedang memperdalam kemampuan Bahasa dan budaya Jepang di rumahnya. Usaha bisnisnya berkembang pesat dan telah masuk ke pasar swalayan. Bahkan ke seluruh negeri Sakura.
Sementara itu, Anto ingin mewujudkan amanat sebagai penerima beasiswa dengan sebaik-baiknya. Sebagai rasa hormat dan terima kasih kepada tuan Kobayashi yang memberi tumpangan hidup selama ia bersiap diri, Anto senantiasa menjaga penolong dan teman baik almarhum ayahnya.Â
***
Proses perkuliahan di Kagawa University membuat Anto harus pandai mengatur waktu. Terutama saat libur akhir pekan yang dijanjikan untuk berkunjung ke kediaman tuan Kobayashi.Â
Sinem Michiyo tengah bersiap diri menyambut kedatangan Anto setelah sebulan lamanya berpisah. Anto berkirim kabar lewat telepon bahwa sepulang kuliah akan langsung berangkat ke pelabuhan feri. Perjalanan sekitar dua atau tiga jam jika laut bersahabat.Â
Mengenakan busana kasual, Sinem bergegas menuju pelabuhan feri yang tak jauh dari rumahnya. Sekira setengah jam perjalanan dengan mobil. Ia sengaja tak memakai pakaian tradisional Jepang yang disarankan oleh ibunya. Karena ingin menyetir sendiri, menjemput sang idaman hati. Ia tak ingin menunjukkan perasaan rindu yang terpendam. Saatnya nanti ia akan buktikan bahwa rasa itu disimpan dalam hatinya saja. Meski ayah dan ibunya berharap ia berjodoh dengan anak kenalan di Kyoto. Shinjuno Watanabe, nama pria itu, seorang insinyur teknik metalurgi yang jadi tenaga andalan satu perusahaan galangan kapal di Kagawa.Â
Sinem Michiyo tak suka dengan tipe laki-laki pendiam yang usia sepantaran seperti Watanabe. Ia justru lebih suka tipe dinamis dan sayang keluarga seperti Anto. Ia tak kuatir dengan anggapan orang tuanya jika kelak akan mengikuti pola hidup Anto. Ganteng, cerdas, dinamis dan.... dueer. Mobil Sinem membentur pohon saat membelok.Â
Kepalanya sedikit berdarah dan dadanya agak sesak. Dengan sekuat tenaga ia mencoba bangkit dari tempat duduknya. Cukup lama untuk bisa keluar pintu dan memeriksa keadaan mobil yang dikendarainya. Kap mobil agak penyok dan lampu kirinya pecah. Beruntung mesin masih bisa dinyalakan. Setelah minum sake yang dibawanya dari rumah, ia melanjutkan perjalanan ke pelabuhan feri yang berjarak tiga menitan.Â
Di pelabuhan telah mengantri penumpang yang akan keluar gerbang menuju pelataran parkir. Anto masih menunggu giliran. Semua penumpang feri keluar dengan tertib dan berpencar kedua arah. Pelataran parkir menunggu jemputan atau berpindah ke moda bis untuk melanjutkan perjalanan ke kota tujuan. Satu arah lain menuju ruang tunggu.Â
Sinem telah memarkir mobilnya di baris kedua. Ia mendekat ke pintu keluar hampir bersamaan dengan giliran Anto. Matanya nanar dan meneteskan air mata rindu. Tiba-tiba Sinem terjatuh dan pingsan. Anto yang melihat kejadian itu langsung berlari menolong. Namun tak bisa mendekat karena dihalangi petugas keamanan pelabuhan. Selang waktu singkat, datang sebuah ambulans dan segera mengevakuasi Sinem. Anto lalu berteriak:
" Itu saudariku...itu saudariku dari Distrik Naosima. Putri tunggal tuan Kobayashi pemilik kebun zaitun", sang petugas akhirnya membuka jalan bagi Anto untuk ikut ambulans ke rumah sakit terdekat.
***
Sinem Michiyo harus menjalani rawat inap untuk diberi tindakan medis lanjut. Ia didiagnosa menderita gegar . otak. Diperlukan operasi pembersihan gumpalan darah akibat benturan tadi. Diperkirakan satu atau dua minggu kondisi kesehatan Sinem tidak stabil dan berpotensi koma. Anto diharuskan menunggu di ruang khusus dengan perasaan cemas didampingi seseorang yang bernama Fujima. Nampak dari emblem di dada kirinya. Ternyata ia seorang psikiater yang ramah.Â
" Tuan Anto, saudari Anda mengalami trauma otak. Perlu penanganan khusus dari dokter ahli yang telah kami panggil untuk menanganinya . Silakan Anda lengkapi semua formulir ini sebelum meninggalkan rumah sakit. Percayalah, kami akan berusaha sekuat daya untuk menyelamatkan nyawa Saudari Sinem. Anda sebaiknya pulang dan menunggu kabar dari kami secepatnya".
Anto menuruti saran tuan Fujima. Ia meminta bantuan rumah sakit untuk memesan taksi ke kediaman tuan Kobayashi.
***
Padatnya jadwal perkuliahan dan tugas-tugas kampus membuat Anto tak bisa menyisihkan waktu untuk menengok keluarga tuan Kobayashi. Iapun tak berani menelepon. Hanya sekali berkirim surat dan tak mendapat balasan. Awalnya sangat gelisah dan ingin memaksakan diri menuju kediaman keluarga itu. Tapi ia ingat pesan ibunya agar fokus pada studi saja. Dua minggu kemudian ia memberanikan diri menelepon keluarga tuan Kobayashi. Berkali-kali dicoba namun selalu gagal tersambung.Â
Malam itu juga, Anto memutuskan untuk berkunjung ke Pulau Zaitun. Hatinya gundah dengan beragam pertanyaan gelisah. Perjalanan yang biasa ia nikmati dengan tidur atau membaca, malam itu tak ada satupun yang dilakukan. Ia kian terlarut dalam gelisah saat sopir taksi yang mengantar dirinya ke alamat tujuan menyadarkan.
" Sudah sampai tua... ", entah berapa kali sopir taksi itu mengingatkan Anto.Â
Sebelum turun, Anto meminta kepada sopir taksi itu untuk menunggu sejenak untuk melihat papan yang digantung di pintu gerbang. Ternyata rumah itu telah ditinggalkan penghuninya tanpa informasi tambahan . Tidak ada seorang pun yang dapat dimintai keterangan. Rumah tinggal tuan Kobayashi dibiarkan gelap gulita.Â
Melihat wajah Anto yang nampak kebingungan, sopir taksi membuka percakapan.
" Tuan...sebaiknya Anda bertanya kepada Kepolisian Distrik. Mungkin ada informasi yang Anda inginkan", Anto mengangguk.Â
***
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H