Hari ini saya mendapat pelajaran besar dari sebuah kesalahan kecil. Karena salah memencet tombol rating, ada perasaan bersalah yang sulit dilupakan sampai ada keberanian lain untuk menguatkan. Awal mulanya ingin memberikan apresiasi atas sebuah artikel NKCTHI yang ditulis Kompasianer baru (tayang 2 tulisan).Â
Tulisan ini akan saya beri peringkat: menarik. Tapi saat muncul justru : tidak menarik. Seketika saya tulis komentar permohonan maaf karena salah pencet. Tidak yakin dengan komentar itu akan dipahami sesuai maksud saya, lalu berusaha dihapus.Â
Tapi berulang mencoba, akhirnya gagal juga. Karena rasa bersalah itu tak ingin diperpanjang, maka saya tambahkan penjelasan di kolom balas komentar atas komentar pertama. Tentu berlanjut dengan kebiasaan menjejak sampai ke sumbernya di akun IG Marcella FP . Â
Meski sekilas, nampak seperti digambarkan penulis artikel itu: Oktavia Wijaya. Lagi asyik menjelajahi tulisan inspiratif tadi, masuk info dari teman yang punya akses kuat ke KKI , undangan hadiri acara itu. Tapi saya tolak karena alasan pribadi. Setelah mendapat jawaban: problem dari penulisnya, baru saya menyusun tulisan ini.
***
Sebelumnya, entah kenapa saya jadi teringat tulisan jadul  Belajar dari Jari Jemari. Jadi tambah ngelantur saat muncul ingatan masa kecil. Sekitar usia 10 atau 11 tahunan, pada permain anak anak jaman itu yang kebanyakan dilakukan di luar rumah (outdoor).Â
Di bawah sinar serumbulan atau pertigaan jalan yang berpenerangan lampu. Entah petak umpet atau gobak sodor biasa dilakukan bersama. Anak laki dan perempuan melakukan permainan itu tanpa pretensi apapun. Semua tulus dan senang.
Zaman telah berubah seiring perjalanan waktu. Begitupun dengan cara dan motivasi orang memperlakukan orang lain di ruang-ruang terbuka. Jika di saat kecil, di jaman susah (katanya) anak-anak bermain dan bercengkrama dengan sebayanya  seolah lepas, tanpa beban akan jadi bahan perudungan (bullying) meski saling mengolok. Atau takut ada pelecehan seksual saat mandi bersama di sungai tanpa busana. Kalaupun ingin menunjukkan "kejantanan" dengan berkelahi misalnya, asas fairplay dijunjung tinggi. Satu lawan satu dan setelahnya tidak berbuntut balas dendam keroyokan.Â
Kenangan masa kecil yang juga tak terlupakan adalah saat saling ejek dengan jari tangan. Cungi-cungi cung (aba-aba untuk saling menohok bersama). Apa yang terjadi? Semua selesai pada akhir permainan. Lagi-lagi berakhir dengan senang dan tanpa prasangka diri berlebih. Pelajaran terbesar dari masa itu: ketulusan mengalahkan keakuan (egoisme/ egosentrisme). Sehingga tak mudah mengasihani diri sendiri yang biasanya diikuti sikap menyalahkan orang lain.
Kejantanan bukan diukur dari relasi seksual, tapi sosial. Ekspresi diri yang muncul dari keberanian dan kekuatan diri. Kalaupun harus bersifat massal, tetap menjunjung tinggi asas fairplay (pertarungan yang adil). Kejujuran mengakui kekuatan lawan dan kelemahan diri. Malu bukan tabu.
Dalam hal keberanian mengakui kekurangan atau kesalahan diri, masa kecil kami rasanya lebih berkesan baik. Ada kerinduan untuk mengulang di jaman canggih dan serba aku ini. Jujur pada diri sendiri itu menguatkan, tidak menghancurkan. Ketulusan mengakui kelebihan orang lain, karena itu, tidak menjatuhkan. Justru sebaliknya, meninggikan derajat kemanusiaan kita.