Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dialog Imajinatif dengan Cak Nun

28 Oktober 2018   03:56 Diperbarui: 28 Oktober 2018   05:15 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: dagelan anak. dokpri

Entah kali ke berapa mencoba, pagi ini saya (TK) bisa janjian ketemu Cak Nun (CN) di rumah Patangpuluhan, Jogja. Ngopi lagi.

TK: Selamat pagi Cak. Sampean sudah berapa kali melanglang buana? 

CN: Embuh... ra tau ngetung (entah.. gak pernah dihitung). Ada apa sih..koq nanya yang kaya gitu? 

TK (dalam hati ngdumel..whe aalahh. Ditanya belum ngasih jawaban, malah nanya balik. ...)

"Gini lho Cak. Sampean waktu didatangi Pak Ma'ruf, cawapres itu lho.., koq ngomong kalau level-nya situ cuma sampai kabupaten ? Lha gendeng tenan to ..".

CN: Ohh.. gitu to, tujuan pertanyaan tadi? Kamu dah liat videonya. Dalam urusan pencapresan kan sudah saya tegaskan. Aku iki ra melu sopo-sopo (gak ikut kubu siapapun). Paling-paling jadi Bonek. Segala ihwal kelompok "ngaji bareng" entah Maiyah, Padang Bulan dan lainnya cuma setingkat kabupaten. Bukan provinsi, apalagi nasional. Gitu lho. Jelas...?".

TK: Gak ...Cak. Sampean boleh ngomong kaya gitu sama Kyai Ma'ruf yang cawapres. Tapi...panyu... jape methe dab (bahasa gaul jaman itu: aku kan sohib.. mas). 

CN: Lha. ...justru itu. Kenyataannya memang seperti itu. Kyai Ma,ruf itu kan ulama besar dan sudah menegaskan kalau alasan menerima ajakan Jokowi bukan untuk dirinya. Tapi buat orang-orang setelahnya.  

Apa saya disuruh ngomong lain, yang belum tentu pas buat semua. Ya..sudah. Apa sampean pingin?".

CN terbahak dan minum kopi kentalnya sambil menyilakan saya menikmati sajian yang disiapkan mbak Novia Kolopaking.

TK: Ya udah soal pertanyaan pertama. Tapi saya punya pertanyaan lain soal mBah Maridjan.

CN: Halahhh... kan sudah jelas juga omonganku. Apa sampean mau nyari alasan pembenaran soal sohibmu. Siapa namanya..?", jelas ngeledek pikirku. Tapi saya gak mau segera mengiyakan.

TK: Barangkali CN tau soal itu. Kenapa tidak?

CN: Begini duduk persoalannya. Masyarakat kita kan terlanjur percaya kalau mBah Maridjan itu sakti karena, konon..., bisa mengalihkan arah awan panas (wedhus gembel)  yang sangat mematikan itu.  Itu kan pesan simbolik (sanepan) buat yang pokok.... yaitu:

...aku (mBah Maridjan) cuma orang bodoh. Siapa tahu yang pinter (pemerintah saat itu: wapres JK, Gubernur DIY, BMKG dan sebagainya) lebih benar (dapat dipercaya).

Jawaban pastinya sampean lebih tahu dari pada saya. Lha soal kedua, jawabannya sama seperti pernyataan mBah Maridjan. Apa saya disuruh ngomong kalau sohib sampean itu korban perselingkuhan sama Nyi Roro Kidul? Lha ...(nanti) ketahuan siapa yang lebih gendeng. Ya kan...??

TK (sambil tersenyum): Ya... bukan begitu maksudku Cak. Sampean kan pernah ngomong juga soal gempa Jogja yang pusatnya ada di sekitar makam raja-raja Mataram, Imogiri, Bantul. Gara-gara iming-iming 30 juta yang dijanjikan wapres JK saat itu , orang-orang Bantul yang mulai bangkit dari duka dan lara berubah jadi memelas. Di situ saya jadi lebih akrab sama Den Tutur.

CN: Ya sudah... terus apa hubungannya sama pertanyaan pertama? 

TK: Semua orang tau kalau sampean itu satu diantara 9 tokoh yang bisa melunakkan hati Pak Harto supaya mundur dari tahtanya yang sudah digenggam puluhan tahun. Kenapa sama Kyai Ma'ruf gak bisa ngomong gitu. Kan lebih elegan kalau beliau tetap di jalurnya sebagai ulama. 

CN: Ohooo....sampean mau njebak aku. " Gak  sudi... aku mbok pepetke ngono (aku koq disudutkan dengan cara seperti itu)", sambil terbahak. 

Seperti biasa, cara tokoh utama kita dalam menghindar itu ribuan atau jutaan jalan. Di antara beragam sanepan yang dilontarkan kepada publik dan jamaahnya, selalu ada ajakan untuk tidak tergesa-gesa menilai sesuatu yang tidak pasti. Semacam pernyataan"bodoh"-nya mBah Maridjan atau "tidur"-nya mBah Surip. 

Ketergesaan menilai sesuatu akan membuat kita hilang akal dan nurani kemanusiaan. Hiruk pikuknya dunia politik Indonesia saat ini tidak berdampak apapun bagi siapapun yang bersikap rendah hati. Pernyataan bodoh dari sesuatu yang samar boleh jadi adalah kebenaran hakiki yang muncul dari keikhlasan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun