Saat melihat batang pisang batu bergelimpangan , tak ada keinginan untuk memanfaatkannya selain jadi sekat sampah dedaunan. Biar kelak menghumus dan jadi kompos satu dua tahun kemudian. Bahan untuk isian media tanam. Itu yang terjadi selama bertahun-tahun. Sampah organik tersedia cukup banyak dari beragam pepohonan yang tumbuh di halaman rumah.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul keinginan untuk membuka pelepah batang pisang batu yang baru ditebang. Satu demi satu lapis dikelupas. Hampir setengah hari waktu yang dibutuhkan untuk menguliti dua batang pisang (gedebog) yang berlembar-lembar itu. Pegal dan sedikit perih, tapi plong. Lalu lembaran-lembaran dijemur ditempat terbuka seminggu lamanya sampai layu dan bisa diikat satu ujungnya sebelum dipindahkan ke tempat teduh.Â
Teringat cerita Kang Edie Juandi - Bonggol Jagung  yang saya anggap guru dan pakar kerajinan berbahan dasar limbah organik, lembaran-lembaran pelepah batang pisang yang sudah kering dipilah dan dirobek jadi lembaran berukuran lebih kecil. Pertama yang muncul di benak adalah membuat tali dari pilin-pilin pelepah itu. Hampir 100m panjangnya.Â
Sementara belum ada gagasan mau diapakan tali itu, sisa potongan yang tidak dipakai, saya gunting jadi serpihan tak beraturan ukurannya . Kebetulan di sekitar tempat pengguntingan itu ada multipleks bekas. Tanpa sengaja saya menumpahkan air kelapa muda yang sedang diminum di atas papan itu karena kaget dengan kehadiran teman lama .Â
Urusan limbah tadi jadi terbengkalai. Setelah ngobrol dan kangen-kangenan selesai, saya berniat membersihkan dan merapikan tempat menggunting pelepah kering. Subhanallah... tanpa sengaja, tumpahan air kelapa muda di papan dan jatuh di atas tumpukan limbah, telah menjadi satu lukisan. Sayang sekali ketika akan dipindahkan, serpihan yang menempel di papan rontok sedikit demi sedikit. Ada rasa kecewa memang, tapi jadi ide untuk membuat mozaik.
Apapun sebutannya, satu kesadaran atas keberlangsungan hidup dan kehidupan telah hadir dalam suatu karya. Semua masih menggantung di dinding lusuh. Entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H