Sepanjang menapak karir di lingkungan pendidikan, almarhumah berkali-kali mengingatkan bahwa jika ingin kaya secara ekonomi (materiil), jangan jadi guru atau pegawai negeri. Guru adalah ladang amal, mengabdi pada ilmu dan keilmuan sebagai wujud pengabdian nyata kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu juga dengan pegawai negeri yang mestinya mengutamakan pengabdian kepada bangsa dan negara. Pesan ini diterapkan pada keluarga secara ketat sampai kami dewasa dan dianggap telah mampu mengambil keputusan pribadi.
Perubahan peta politik nasional dari kepemimpinan Soekarno yang revolusioner-karismatik ke rejim militerisme-feodalistik di jaman Jenderal Soeharto mengubah secara drastis seluruh tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat. Selain menimbulkan trauma sosial dan politik berkepanjangan bagi orang-orang yang dituduh PKI dan anteknya, rejim ini juga menumbuh-kembangkan neo feodalisme yang beberapa tahun kemudian dikenal dengan istilah praktik KKN. Pendidikan dilepaskan dari induknya, kebudayaan. Salah satu buahnya adalah penghargaan kepada seseorang bukan atas dasar kemampuan pribadi, tapi loyalitas pada atasan lebih tinggi dibanding pada tujuan organisasi. Gelar-gelar formal dan kehormatan jadi ladang buruan untuk meningkatkan posisi sosial. Sistem pendidikan nasional yang semula dirancang untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia akhirnya menjadi obyek dan proyek sektarian. Tidak lagi mengarahkan manusia Indonesia sebagai manusia merdeka, jujur dan berani bertanggung-jawab. Siapapun dan apapun alasan mengoreksi, apalagi menentang, kebijakan pemerintah akan disingkirkan secara ekonomi maupun sosial dengan cepat atau lambat. (bersambung)
Tulisan sama ada di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H