Mohon tunggu...
Totenk Mahdasi Tatang
Totenk Mahdasi Tatang Mohon Tunggu... Aktor - pembina Sanggar Lidi Surabaya

Aktor teater, penyair, dramawan,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senna Si Mata Elang (1)

12 Mei 2013   20:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:41 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seraya semesta menujum lesu

Dewa dewi segala ahli, gariskan restu

Para menteri Khayangan turut meramu

Lewat rahim wanita kampung yang lugu,

Titipan Lelaki tangguh yang lekas berlalu

Lahirkan aku,

Kesempurnaan Perempuan, bermata elang

Aku,

Dilingkari Segala dongeng manis masalalu

Dilukis pisau luka tanpa berlalu

Dikurung resah tanpa pintu

Dicambuk zaman sesak liku

“Hey, para wanita !

Lihatlah wajah, rambut, dan seluruh tubuhku,

Dan setelahnya, bersiaplah iri akan kesempurnaanku,

Mengaku tak mengaku, itu urusanmu.

Hey, para Lelaki !

Tak bosannya kau pandangi kulitku,

Kenapa pandangannya berhenti didada, dan nafasnya tiba-tiba menggebu?

Pulanglah, istri kalian menunggu

Hey Boss, kenapa tak jua surut tatapmu?

aku bukan perempuan murahan seperti yang ada dibenakmu,

kalau pun aku melacur,

Sudah pasti harganya jauh lebih mahal dari sekedar nyawamu.”

Waktu bergulir, nasib pun mengalir

Aku mulai terseok terkilir

Satu-satunya yang terkasih, yakni Ibuku hadapi sihir

Sihir nasib yang korbankan segala harta duniawi kami seolah dihantam banjir

Merampas suka cita usia beliaku, yang dipaksa cepat menyingkir

Didesak untuk segera dewasa, dengan nafas ketar-ketir

Tanpa tanah, tanpa rumah, tanpa uang yang tertabung

Aku yang jauh dari matang, dan ibuku yang rentan

Memulai, merangkak, mencoba berjalan hadapi rintang.

Lalu seketika, munculah para tengik bertopeng pahlawan

Memberikan bantuan berbentuk uang pinjaman

Setelahnya, berubah menjadi Izrail sang penagih utang

Berikut bunganya yang mencekik, melebihi uang yang kami pinjam

“Tuhanku,

Semesta dan dewa dari segala dewa,

Peluklah, dan kuserahkan kado airmata

membungkus doa dan permohonan maaf

Jika akhirnya tak kuasa kupertahankan takwaku,

Maka izinkan, aku menjadi Bajingan‘.

Zaman dengan segala perkembangan

Dengan sombong, menggiringku keranah perang

Kesehatan ibuku, dan serakan hutang yang harus dituntaskan

Menjadi mata tuju, menuju sebentuk kemerdekaan

Mataku semakin tajam, mataku elang

Otakku semakin liar, otakku ular

Tak kuasa gelisah dan sepi kupendam,

Kisahku mulai sering tercurahkan

Berlombalah berbagai pria, tawarkan bantuan

Tawaran yang bahkan melebihi harga tiket, menuju kemerdekan

Namun, justru aku semakin beringas nan sesak dendam,

Karena tersirat pasti, tubuhku yang mereka lihat, dan selalu menjadi syarat

Maka dengan lantang, kukatakan “TIDAK, Bangsat!”

Aku elang yang terluka

Ular dengan bisa kecantikan

Luka dan bisa, adalah sekawan cinta

Kawan sejati menyusuri lika-liku kenyataan

Aku berenang di lembah

Melayang dikesunyian

Sepi, menyengat dikeramaian

Daya tempuh melemah

Jiwaku dipaksa goyah

Angin guncing menerpa berbagai langkah

Aku diserang berbagai duga dan fitnah

Lukaku, bertambah parah

Selintas, ingin ketemui Jesus

Kudengar, ketika beliau terlahir, diwarnai desas desus

Sebentuk guncingan terhadap Ibundanya Maryam

Lalu dengan tenang dan penuh keyakinan,

Usia bayinya lantangkan penjelasan.

Lantas, kemana aku menemuinya, untuk belajar

Bagaimana menjelaskan terhadap manusia-manusia bermulut kurang ajar

Yang tak henti mengumpat simpulkan, tanpa mau tau bahkan mengerti, siapa aku.

Bukankah kita hidup untuk saling membantu?

Tapi aku tak peduli itu,

Sedehana saja harapku

Jika tak mau tau, apalagi membantu

Sekiranya, mari tidak saling menggangu

Langit pengujung malam, selalu setia menampung peraduan

Matahari yang perlahan terbit, pelan-pelan mengusir bulan

Sedikit cahayanya mengintipku, saat menulis tanya pada kertas awan

Apakah kelak, akan kujumpai sang Ayah yang sudah jelas bukan Tuhan?

Apakah suatu kapan,

akan tiba lelaki, yang mampu kiranya dapat memadu kasih, dan berbagi beban?

“bangun dek, selamat pagi… “

Itu suara ibuku,

Suara syahdu, yang senantiasa muncul menjawab segala tanya imaji

Satu-satunya suara indah swarga yang tak izinkanku larut dibenak mimpi

Seraya semesta menujum lesu

Dewa dewi segala ahli, gariskan restu

Para menteri Khayangan turut meramu

Lewat rahim wanita kampung yang lugu,

Titipan Lelaki tangguh yang lekas berlalu

Lahirkan aku,

Kesempurnaan Perempuan, bermata elang

12 Mei 2013

Totenk MT

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun