Aku tulis, menghibur suka dukamu
Dan kurajah pada bait-bait Doaku
Melebarlah cakrawalamu,
Matamu yang elang tetaplah tajam
Jiwamu yang karam, usailah kau sarang
Congkaknya dunia, menanti seulas senyuman
Dan itu, senyummu.
Berjalanlah Senna, tetaplah berjalan
Sudah kau lewati tiga belas lintasan
Tikungan-tikungan tajam sudah biasa kau taklukan
Kawanmu adalah Terjalnya hamparan jalan
Berjalan, dan tetaplah tenang
Karena persoalan-persoalan hidup akan terus bergelombang
Menghantam tanpa akan bertemu bosan
Berjalanlah…
Lunakkanlah kecengengan perasaan
Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang
Kuingat telah kau lantunkan
Sebait lagu tentang langit dan awan
Ayahmu jingga, tanpa mampu kau dekap
Angkasa lusuh, lambaikan tangan jejali harapan
Nyanyianmu merupa gigauan
Romansa dilintasan kedelapan
Kau meracau, kau dimabuk risau
Tetapi hidup, tak bernafas di lampau
Berjalanlah…
Lunakanlah kecengengan perasaan
Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang
Lihatlah, didepan ada puluhan bahkan ratusan luka
Mereka akan melintas bahkan riskan ditahan
Lewatilah tanpa mengeluh, sekalipun satu desah
Nafas keluh, hanya akan membuat dawai nasib berdiam
“aku lelah, aku butuh peristirahatan”
Tidak senna, peristirahatan akan tiba dengan baju kematian
Berpikir istirahat adalah daya mati yang dihadirkan
Alunan nafasmu telah menyaksi segala kehidupan
Dan ragam tantangan dengan segala warna tajam
Adalah daya hidup, adalah senjata melepas rantai kelam
Berjalanlah…
Lunakanlah kecengengan perasaan
Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang
“kenapa aku harus berjalan sendiri?”
Lalu apa yang ditakutkan jika memang harus sendiri?
Karena lahirmu pun telanjang dan sendiri
Maka berjalanlah tanpa risaukan hidupmu yang sendiri
“tidak, aku mulai rapuh, sesosok saja, aku benar butuh”
Itu muncul dari otakmu yang lumpuh
Kau tak percaya, betapa tubuh dan pribadimu teramat tangguh
Segeralah luruskan dan beningkan kembali pikiranmu yang keruh
“kau tak mengerti dan tak mau pahami apa yang bergelut dalam benakku”
Lantas kau berharap dimengerti? Dipahami? Itu?
Hidup dengan mengharap pengertian orang lain, hanyalah merendahkan dayamu
Tidaklah lebih, dari wujud bahwa daya hidupmu buntu
Kesempurnaan yang kau miliki, maka sekedar semu
Lekas lupakan talu-talu keluhmu
Berjalanlah…
Lunakanlah kecengengan perasaan
Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang
“aku manusia, dan aku bisa sedih pula”
Tentu saja tidak akan ada larangan untukmu bertemu lara
Namun terkait suka dan duka
Semua orang memilikinya, maka tak ada yang istimewa
Hanyalah sebentuk kesimpulan dari apa yang terlaksana
Maka sukamu, maka dukamu, tak perlu berdiam lama
Ditahan, hanya mampu membuatmu terlena
“jika memang pada akhirnya berada disuka dan duka,
lalu apa perlunya proses kehidupan?
Aku lebih tertarik bicara langsung hasil, tak peduli hasilnya persinggahan duka “
Karena tidak satupun manusia yang bisa memastikan hasil akhir
Selain kematiannya .
Proses hidup adalah upaya menyiapkan kematian
Setiap orang berhak menentukan
Apakah akan mati sebagai pahlawan, pecundang, atau mungkin bajingan
Juga kamu berhak menentukan kematianmu kelak,
Sejauh mana kau hormati hidupmu, selayak itulah harga kematianmu.
Sepatutnya kau tak harus mudah berhenti meraih berbagai kemungkinan
Dan proses pencarian hidupmu, adalah bagaimana meraih kemungkinan-kemungkinan baik
Mewujud nyata, hingga menjadi hakiki milikmu
Dan apa yang telah dan sudah kau miliki
Rawatlah selagi ada dengan baik,
Karena kita tidak pernah tau,kapan kehilangan akan singgah
Teruslah mencari , jangan ada kata berhenti
Berjalanlah…
Lunakanlah kecengengan perasaan
Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang
Aku tulis, menghibur suka dukamu
Dan kurajah pada bait-bait Doaku
Melebarlah cakrawalamu,
Matamu yang elang tetaplah tajam
Jiwamu yang karam, usailah kau sarang
Congkaknya dunia, menanti seulas senyuman
Dan itu, senyummu.
Surabaya, 23 Juli 2013
Totenk MT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H