Saya punya masalah dengan memory. Yah … Memory saya tidak bisa menyimpan dan mengingat cerita-cerita terlalu lama. Sahabat-sahabat saya kadang tergelak terbahak-bahak melihat ekspresi saya yang bertanya dan mencoba mengingat tentang cerita-cerita yang sudah pernah mereka ceritakan. Dan saya, dengan wajah penuh kebingungan, akan bertanya, “Emang lo udah pernah ceritain ini ke gue ya?!”. Tak kadang pula mereka kesal dan mengeluh, “Ya ampuuuun, cieee. Gue udah sampe berbusa nih cerita beginian ke elo waktu itu, dan sekarang lo nanya lagi, nanya lagi. Keterlaluan deh lo, cie!” … hiks.
Cuma satu kata yang bisa saya berikan untuk masalah ingatan saya ini … PARAH!! Saya memang lebih banyak gagal mengingat cerita-cerita, bahkan rahasia-rahasia mereka tanpa menanyakan kembali saat mereka menceritakan itu, untuk mencoba meyakinkan kembali memory yang tersimpan dalam otak saya. Ppffff …
Otak kita adalah generator bipolar. Setiap input yang masuk, langsung terbagi kedua jalur. Jalur pertama, diterima oleh cortex, yang fungsinya adalah menerjemahkan stimulus ke dalam siklus atraktor yang terbatas, atau disederhanakan sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang terkategori, entah itu bau, rasa, dan sebagainya. Jalur kedua, input ditampung oleh semacam generator acak. Input disitu bersifat nonspesifik, tidak terstruktur. Atau saking kompleksnya, tidak ada informasi yang bisa diterjemahkan. Matti Bergtrom, ilmuwan Finlandia yang meneliti masalah ini, bilang bahwa generator acak itu bisa kita rasakan waktu kita benar-benar baru bangun tidur. Kosong dan tidak ingat apa-apa, sampai akhirnya cortex kembali membanjiri kita dengan informasi. (sumber info nyontek dari internet)
Mungkin, dalam kasus saya ini, semua informasi yang masuk, gagal diterima oleh cortex dan langsung masuk dalam generator acak, sehingga semua informasi tidak bisa diterjemahkan untuk diklasifikasikan. Atau, kemungkinan lainnya, ibarat memory dalam smartphone, dari mulai 1 GB hingga saat ini sudah ada memory berkapasitas 256 GB. Dengan memory sebesar itu, konon ratusan ribu lagu dan ribuan foto bisa tersimpan didalamnya. Dan memory yang ada dalam otak saya masih tetap 1 GB, sedangkan informasi yang saya terima lebih dari itu setiap harinya. Hasilnya, bila ada informasi yang baru masuk, maka pilihannya adalah harus membuang memory yang sudah dulu ada. Bayangkan, sebuah otak memproduksi rata-rata 14.000 pemikiran per hari, 5 juta per tahun. Bisa dibayangkan, betapa complex dan rumitnya pemikiran manusia setiap harinya?!
Maka, sukseslah saya sebagai penyimpan memory paling payah diantara keluarga dan sahabat-sahabat saya. Tak jarang saya menjadi bulan-bulanan lelucon, mereka (keluarga dan sahabat) membohongi saya apapun, karena saya tidak mengingat apapun. Tapi Tuhan memang Maha Adil, Dia memberikan kelemahan pasti dibarengi dengan kelebihan lainnya. Dari kelemahan ini, saya tidak mendendam, karena saya gagal mengingat lebih lama kesalahan orang yang menyakiti saya. Gagal mengingat kejadian-kejadian yang membuat saya sedih, bahagia, susah, senang. Itu akan saya ingat saat itu dan segera kadaluarsa. Saya tidak akan membocorkan rahasia sahabat-sahabat saya, karena saya tidak yakin akan ke-akurat-an rahasia yang tersimpan di memory saya. Jadi, kapanpun mereka menceritakan tentang rahasia-rahasia mereka, dengan penuh bahagia mereka akan menegur saya, “Gue gak perlu ngingetin lo untuk gak cerita ke siapa-siapa ya, cie. Karena minggu depan lo pasti udah lupa sama cerita gue ini. Hahaha.” Sarkasme …
Mungkin tidak semua cerita saya lupakan begitu saja. Saya mampu mengingat isi buku yang saya baca, menceritakan kembali cerita di film yang saya tonton, walaupun sudah berlangsung dalam waktu cukup lama. Pernah saya menggali kelemahan ini dengan seorang sahabat. Kami mencoba menganalisa apa yang menyebabkan saya lemah ingatan. Padahal, selama sekolah, saya termasuk dalam daftar murid berprestasi dan berotak encer. Selalu masuk dalam rangking lima besar. Sahabat saya bilang, mungkin saat mendengarkan cerita, saya sedang tidak fokus. Atau beban pikiran yang sudah overload, hingga cerita yang masuk hanya sekedar masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tanpa ada informasi sedikitpun yang mampir dan singgah menetap di memory saya. Tapi saya pikir, itu tidak sepenuhnya benar.
Atau mungkin otak saya dengan canggihnya dan otomatis, telah memilah dengan cerdasnya, bagai telah terprogram, informasi mana yang boleh mengendap di dalamnya. Dan cerita-cerita tentang gosip, curhat, aib, atau apapun yang berhubungan dengan perasaan, akan secara langsung menguap seiring berjalannya waktu. Bukan dengan maksud mengabaikan penilaian seseorang akan kisahnya, atau underestimate akan rahasia mereka … tapi, menurut saya, itu adalah cara diri saya memberi penghargaan dan overestimate pada siapapun yang membagi cerita rahasianya pada saya. Kalian bebas mengungkap apapun pada saya, kita akan membahasnya saat itu juga, dan kemudian menguap … saya lupa. Tidak ada yang menempel, tidak melekat. Tidak menjadi beban di kemudian hari karena saya menyimpan rahasia si anu, tahu masalah si inu … just it, menguap, tidak ingat.
Apapun itu, saya teringat cerita sebuah film Korea tahun 2004 yang saya suka, yang membuat menangis tersedu-sedu saat menontonnya. Judulnya “Moment to remember”. Hal pertama yang membuat saya tertarik akan film itu karena terpana akan ke-cool-an si Jung Woo Sung (ooohh, woman. Hohoho…). Dikisahkan di film itu, seorang wanita muda yang terkena penyakit “Alzheimer”, di usianya yang masih sangat muda. Perlahan-lahan dia gagal mengingat suaminya, gagal mengingat aktifitas hariannya, hingga gagal menikmati hidupnya.
Yang jelas, dari ending film itu membuat saya berpikir, bagaimana rasanya lupa pada semua hal yang membuatmu tidak mengetahui akan segalanya? Semuanya pasti terasa gelap. Kau gagal mengingat siapa dirimu sebenarnya, apa yang akan kau lakukan, apa yang kau perjuangkan, bahkan kau gagal mengingat mimpi-mimpimu. Ada yang lebih mengerikan daripada gelap. Ada yang lebih menakutkan daripada diskoneksi antara otak dengan kesadaran panca indra kita. Mungkin rasanya bagaikan tersesat tak berkesudahan, kecil rapuh dan tak berarti, melayang dalam dimensi ruang dan waktu yang tak terukur. Bisakah kalian bayangkan, betapa menyeramkannya berada disana?!
Sebagai manusia yang berotak, saya tetap mencoba mencari jalan keluar atas kondisi saya ini. Positifnya, saya jadi harus rajin menulis. Karena semua yang saya ingat, akan segera saya tuangkan dalam tulisan-tulisan saya, entah serius atau tidak, entah terbaca atau tidak, entah apapun akan saya tulis. Itu membantu saya merekam moment-moment yang akan saya ingat kembali saat saya membacanya. Saya pun lebih hobby bermain Sudoku, puzzle bahkan teka-teki silang. Selain hobby sejak lama, itu juga membantu otak saya untuk terus berpikir. Negatifnya, jangan ditanya. Kalian pasti bisa membayangkan dengan mudah.
Dengan memiliki tujuh respon cara kerja otak (yang tidak akan saya uraikan disini), saya hanya gagal menyimpan memory-memory itu lebih lama. Tapi, melalui ketujuh respon otak itu, manusia melihat dunia terbentang untuknya. Dan apa yang ia lihat tergantung dari respon mana yang ia pergunakan. Otak adalah alat yang disediakan Sang Maha Pencipta bagi kita untuk bermain dengan hidup. Permainannya sendiri … tergantung kita.
Dan apapun kondisi yang ada pada saya, saya tetap yakin dan percaya ... Orang yang berbahagia bukanlah orang yang hebat dalam segala hal, tapi orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan mengucap syukur. Dan dalam kelupaan, bahkan saya tetap mengucapkan syukur …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H