Ketika segenggam rintik menyenggol tunas dari tanah kerdil.
Tanganku  mengayun  merangkai bait
Menari mengukir kata memancar sentuhan
Mungkin ini hanya catatan langit
Dengan puisi ingin kubawah kabar
Agar tak kandas pada petang di leher senja
Agar pula tak terlupakan pada setiap desah
Ada beribu jiwa di tanah ini
Ada beribu bahasa terucap
Ada beragam warna melintas gang-gang kota
Kota elok rupawan tanpa granat
Ada beragam rasa menggendong cerita
Pada lembar atap rumah Indonesiaku
Merah putih kebanggaanku
Aku memegang tanah ini, dan kubenamkan cinta yang tak pernah tertinggal
Sumatra, Jawa, Â Bali, NTT, NTB
Nafasku adalah nafasmu
Yang tak pernah selesai pada garis pantai
Kutulis puisi pada pasirmu
Tentang  satu  benderaku,
Satu Pancasilaku.
Satu ujaran di rumbia Indonesia
Aku, Umbu Rambu  dengan kataga  dan pasolaku
Enu, oa ama ina, dalam bingkai Flobamorata
Inaq amaq dengan Bale Lumbung
Mas, mbak dengan wayang kulitnya
Bli dengan upacara ngabennya
Kini kutemukan pelangi di negeri khatulistiwa
Kuukir kata pada kampus Putih Jas Merah
Meretas impian
Merentangkan tangan pada setiap undakan
Undakan kampus putih
Dua minggu penuh makna
Merenggut  makna ke dalam piring persatuan
Binekha Tunggal Ika.
Catatan kaki: kataga adalah Tarian para Lelaki Sumba untuk menyambut kasatria atau  orang yang dihormati
B_26_TORINE _RAMBU_BABA _AMA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H