Mohon tunggu...
Tore Simarmata
Tore Simarmata Mohon Tunggu... -

An ordinary person.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Masa Depan yang Merisaukan

19 Juli 2010   06:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="On Leadership (Taken from: http://www.spdag.com)"][/caption] Agak langka jika masih ada orang yang sempat memikirkan tentang pemimpin masa depan Republik ini, di tengah gambar buram hiruk-pikuk politik yang kian mengingkari azas-azas demokrasi. Bisa jadi keinginan tersebut didorong oleh kegelisahan yang tak kunjung hilang, sebab korupsi, politik kartel, selebritisme, kekerasan komunal, dan kemiskinan, masih mendominasi narasi perpolitikan nasional. Tetapi, mengharapkan munculnya kepemimpinan dan pemimpin yang progresif seperti diidealkan, tidak semudah masa para founding fathers dulu. Dua faktor yang paling membedakannya dengan sekarang adalah: konteks materil sosial politik dan sesuatu yang disebut common enemy dewasa ini. Materialisme historis Karl Marx telah menegaskan bahwa kesadaran terbentuk dari pengalaman materil yang secara kumulatif membentuk apa yang disebut sebuah sejarah. Walaupun yang dipikirkan Marx tentang realitas materil pertama-tama mengacu pada the production mode, saya yakin dasar filosofis tersebut layak diterapkan dalam konteks yang tidak selalu berkaitan dengan cara produksi masyarakat. Walaupun sebenarnya, hampir tidak ada aspek kehidupan ini yang tidak terkait dengan sistem produksi. Realitas materil sekarang mendorong individu-individu menjadi pribadi-pribadi yang sukses, menyediakan sarana pemuas kebutuhan, dan membuat hidup menjadi ritualisme yang berulang dengan segala kecanggihan teknologi cepat saji. "Kemajuan" sebagaimana diklaim para modernis ini, memaksa para masyarakat menjadi "individu-individu privat." Sebaliknya, demokrasi di mana kepemimpinan diharapkan bertumbuh mensyaratkan "spirit kepublikan." Coba kita renungkan, apakah para anggota DPR kita yang nota bene dipilih secara demokratis, memiliki spirit kepublikan, ataukah spirit komunalitas. Upaya kultural secara konsisten (saya melihat pendidikan dalam arti luas paling tepat) merupakan strategi untuk menegakkan kembali "kepublikan" yang memudar. Termasuk di dalamnya untuk merevitalisasi apa yang disebut sebagai musuh bersama, sesuatu yang jauh berbeda dari masa lalu (kolonialisme). Persoalannya adalah, karena tidak dirasakan semua orang, maka "musuh bersama," menjadi hanya disadari segelintir orang saja. Indonesia tidak punya pengalaman yang sehat tentang pemimpin nasional. Menurut saya Soekarno adalah pengecualian. Kepemimpinan ideal untuk Republik menurut saya perlu memiliki kapasitas di luar yang formal, ke sesuatu yang bersifat transendental. Sebab bukan hanya karena pluralitas, tetapi hanya dengan pemikiran yang mampu melampaui batas-batas formalitaslah seorang pemimpin dapat menyatukan Republik ini menjadi sebuah komunitas terbayang (Benedict Anderson) yang kokoh untuk mencapai cita-cita proklamasi. Pemimpin nasional, dan juga daerah, perlu memiliki kecakapan intelektual, moral, dan managerial. Pemimpin musti berani menjadi bagian dari anggota masyarakat terendah (miskin) di daerahnya. Seseorang sebagai pemimpin harus lebih sering melihat kesulitan hidup masyarakatnya, ketimbang duduk di belakang meja atau studi banding ke mana-mana. Pemimpin juga harus "mengingkari" identitas individualnya ketika berada di tengah kebersamaan dengan masyarakatnya, tanpa harus melupakan hakekat kepribadiannya sebagai individu yang bebas. Sifat feodalisme acap kali membuat pemimpin menjadi sebab dari sebuah ketidakadilan dan diskriminasi. Dinamika politik membawa Indonesia pada politik demokrasi sekarang. Demokrasi liberal yang ditandai dengan separation of power dan periodically direct general election membuka ruang bagi "siapa saja" untuk tampil sebagai pemimpin, baik di tingkat nasional, maupun daerah. Pemilihan langsung di Indonesia sudah diidentikkan dengan demokrasi itu sendiri. Hak politik untuk dipilih dan memilih terealisasi secara struktural lewat mekanisme pemilu langsung. Kepeminpinan sipil sudah terdorong untuk berkompetisi, tanpa melupakan cacat-cacat yuridisnya. Namun, sejak runtuhnya Orde Baru pemimpin sipil bisa dikatakan belum bisa independen untuk tampil sebagai pemimpin nasional. Faktor penyebabnya seperti dijelaskan sebelumya adalah tidak terlatih menjadi pemimpin demokratis. Kepemimpinan militeristik sudah lama tertanam di bawah sadar sebagian besar masyarakat. Liberalisme politik sekarang masih menyisihkan persoalan ini, sehingga tidak jarang tipe kepemimpinan masa lalu bangkit dari kuburnya. Sebagai pencetus reformasi, di manakah letak kekuatan masyarakat sipil? Huntington (1991) dalam The Third Wave menegaskan bahwa demokratisasi muncul karena kemajuan ekonomi yang melahirkan kekuatan kelas menengah yang mandiri. Dan elit sosial politik dalam era ini menjadi aktor-aktor pendobrak perubahan. Ini sebuah paradoks. Setelah reformasi terbentuk elit sosial-politik sibuk mengurus diri masing-masing, menjadi "minoritas" baru yang merampas reformasi. Sejalan dengan itu, Graeme Gill (2000) dalam The Dynamic of Democratization, mengkritik tesis Huntington. Gill menegaskan kekuatan masyarakat sipil-lah (civil society) yang menjadi aktor utama penggerak reformasi, dan mengarahkan gerak transformasi politik tersebut. Saya sependapat dengan Gill mengingat stabilitas struktur politik nasional (partai politik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif) masih rapuh. Sebuah fenomena yang menggerogoti itu semuah adalah politik kartel dalam sistem kepartaian merembes hingga ke struktur politik. Tanggung jawab moral para kader civil society, atau masyarakat warga adalah menjadi kekuatan oposisional secara konstruktif terhadap jalannya kekuasaan. Pemikiran alternatif dan kultur spirit yang membasis membuat pemimpin masyarakat sipil lebih peka, indepeden, dan kritis. Pascapemilu 2009 telah banyak kader-kader masyarakat warga terjun ke panggung politik, walaupun gerakan ini dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi saya punya keyakinan, semakin banyak pemimpin muda dari masyarakat sipil di panggung politik, makin kuat roh transformatif yang mengitari pucuk-pucuk kekuasaan di mana mereka terlibat. Kelompok masyarakat sipil (terkadang saya memasukkan "pers" di dalammnya) tidak hanya menjadi "safety valve" demokrasi, tetapi "the real leader of the People." Akhirnya dapat ditarik benang merah bahwa pemimpin masyarakat sipil saatnya merapatkan barisan untuk membentuk spirit perubahan berskala nasional. Kekuatan masyarakat sipil sudah terbukti. Pemimpin masyarakat sipil memiliki kesadaran materil yang merakyat, kritis, dan transformatif. Pemimpin masyarakat sipil juga terlepas dari borok feodalisme politik., dengan demikian lebih menyadari musuh bersama yang nyata seperti kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, korupsi, dan lain-lain. Ruang untuk berkiprah di panggung politik bagi masyarakat sipil sudah terbuka lebar lewat liberalisasi politik, khususnya pemilu. Tantangannya adalah masih banyaknya diskriminasi bagi calon pemimpin independen khususnya di tingkat peraturan. Saya yakin, setidaknya sampai hari ini, kekuatan masyarakat sipil-lah yang menjaga demokrasi di Republik ini. Ke depan hak-hak politik masyarakat sipil ini perlu dimanifestasikan secara nyata melalui kerja kolektif, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pertama-tama, memulai dari perubahan yang dicita-citakan bersama ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun