Mohon tunggu...
Tore Simarmata
Tore Simarmata Mohon Tunggu... -

An ordinary person.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Televisi & Demokrasi, Tak Akur di Negara Korup

28 April 2010   06:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:32 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tentu masih ingat, peristiwa pengrebekan tersangka teroris yang terjadi di Temanggung beberapa bulan yang lalu. Sungguh luar biasa, peristiwa itu ibarat serial film Combat yang dulu tayang tiap minggu di TVRI. Letusan peluru dimuntahkan dari senjata otomatis laras panjang, menjadi scene terpanas. Setiap terdengar suara tembakan, orang-orang yang tadinya agak lengah, secara sigap kembali melotot pada layar kaca televisi, di rumah, di warung, di toko, bahkan di stasiun. Itu hanyalah secuil adegan "menarik" dari peliputan peristiwa tersebut.

Namun yang paling mengecewakan adalah, ketika salah satu stasiun televisi melalui reporternya di lapangan melaporkan secara live bahwa tersangka teroris yang paling dicari-cari selama ini, Noordin M. Top, telah meninggal. Beberapa hari kemudian kita tercengang. Mabes Polri mengumunkan bahwa yang meninggal dalam pengrebekan di Temanggung tersebut bukanlah Nordin M. Top. What?!

[caption id="" align="alignleft" width="278" caption="What makes television, any way? Gambar diundu dari: http://farm1.static.flickr.com/ "][/caption]

Cerita lain. Baru-baru ini salah satu stasiun televisi swasta ingin tampil "beda" atau terdepan dalam reportase berita. Di tengah panasnya pemberitaan kasus makelar kasus yang diduga bersarang di beberapa institusi penegak hukum, stasiun televisi tersebut, berhasil menemukan seorang makelar kasus. Makelar kasus ini pun diwawancarai di stasiun televisi tersebut. Tentu saja, masyarakat akan merasa: "Wah, ternyata bisa juga ditemukan makelar kasus penjahat kelas kakap itu. Stasiun televisi aja bisa, masa penegak hukum ngak bisa sih?". Nilai berita dari berita ini tentu sangat tinggi. Namun semua itu hanyalah rekayasa: makelar kasusnya palsu. Masih banyak kasus serupa.

Beberapa rekan kompasianer (lihat disini) telah melakukan pemetaan yang jelas bahwa televisi di tanah air masih jauh dari fungsi idealnya dalam masyarakat, dan pada pembangunan demokrasi secara umumnya. Sesungguhnya, tidak hanya karena televisi kita telah di-stir oleh kepentingan modal saja, atau oleh kepentingan "big boss" di belakang layar, namun kejahatan korupsi yang sudah menggurita di tanah air membuat konstruksi sistem pertelevisian di tanah air menjadi serba dilematis.

Saya tetap yakin bahwa media dapat berkontribusi bagi terwujudnya demokrasi yang substantif, termasuk di Indonesia. Bahkan, jika dibuat kategorisasi, media bisa jadi lebih dipercaya daripada lembaga publik tertentu yang mestinya memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi, sikap dan dorongan untuk mengiring media pada penguatan demokrasi bukan merupakan pilihan, melainkan keharusan.

Bagaimana pun televisi sangatlah tergantung pada iklan. Berbeda dengan media cetak yang punya pasokan dana dari hasil penjualan oplah, televisi mengantungkan eksistensinya pada pengiklan. Pengiklan tentu akan bekerja sama dengan stasiun televisi yang ratingnya tinggi, atau punya acara ber-rating top. Sehingga, ilmu dasar yang menggerakkan program acara televisi adalah bagaimana menghasilkan program yang punya rating tinggi. Dari sinilah "permainan" dimulai. Hasilnya, eksploitasi, komodifikasi, sensasionalisasi, hingga "seksualisasi", bahkan "rekayasaisasi" sangat kental pada layar kaya televisi kita.

Ada yang bilang: "Tetapi media melakukannya, kan untuk kelangsungan hidupnya, so what?". Harus disadari bahwa prinsip dasar "membela" televisi adalah dalam operasionalnya, mereka menggunakan sumber daya publik: gelombang siaran yang terbatas itu. Artinya, televisi punya tanggung jawab moral dalam melayani kepentingan publik. Sayangnya prinsip dasar ini yang kini hilang. Kepentingan modal lebih mengendalikan, daripada tanggung jawab moral tadi. Untuk mengingatkan, lihat bunyi salah satu butir (b) bagian pertimbangan UU No. 32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran:

"bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945." (penekanan oleh penulis).

Dalam situasi seperti itu, pemerintah sebenarnya harus turun tangan. Negara sebagai bentuk kristalisasi kepentingan publik harus menjamin terwujudnya prinsip kepublikan tersebut. Bentuk yang paling lazim adalah penegasan fungsi pengawasan, serta menjalankan pengaturan pemakaian gelombang sebagaimana telah diatur Undang-Undang. Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakili kepentingan publik perlu mengandung sifat mengikat, bukan hanya fungsi pengawasan normatif saja.

Evaluasi penggunaan gelombang siaran pasti efektif untuk "meluruskan" kepentingan publik. Landasan hukumnya UU No. 32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran berbunyi demikian, pasal 34 ayat 1, butir b: "Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 tahun"; ayat 6, berbunyi: "Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali".

Dalam pasal yang sama juga disebutkan ketentuan lain yang dapat berakibat pada pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Artinya, masa berlaku izin siaran untuk stasiun televisi tertentu adalah 10 tahun. Sesudahnya dapat evaluasi dan diputuskan apakah layak atau tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

[caption id="" align="alignright" width="244" caption="All for money! (Gambar diundu dari: http://rdrakennedy.files.wordpress.com/2009/10/money1.jpg) "][/caption]

Tetapi, di situlah dilemanya. Intervensi negara yang korup dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat lebih berbahaya daripada tidak usah intervensi. Seperti dalam sektor ekonomi nasional secara umum, intervensi negara dinilai tidak akan efektif. Menteri Keuangan, Sri Mulyani ketika ditanya tentang siapa yang harus berperan dalam sistem ekonomi nasional, negara atau pasar (privatisasi), dia mengatakan demikian:

"Membela rakyat tidak hanya dengan mengatakan semua diatur negara. Nonsense itu! Karena kalau anda diatur negara, muncul pertanyaan siapa itu negara? Pemerintah. Siapa pemerintah? Birokrat. Siapa saja birokrat? Birokrat yang tidak kompeten. Birokrat yang korup tends to accumulate power. Maka rakyat akan diminta bekerja untuk birokrat, bukan untuk dilindungi oleh negara." (Prisma, No. 1, Vol. 28 Juni 2009, hal. 79; penekanan sesuai dengan aslinya).

Jadi mencari keadilan lewat negara (pemerintah) untuk melakukan intervensi pada dunia televisi belum tentu membawa hasil yang positif untuk saat ini. Di sisi lain, bagaimana mungkin ingin menegakkan kepentingan publik di layar kaca, sementara uang rakyat trilliunan rupiah lenyap di tangan koruptor, kemiskinan masih merajalela, pelanggaran HAM tidak terselesaikan, dan lainnya. Jadi, kualitas negara akan menentukan kualitas medianya sendiri.

Dalam demokrasi, media diharapkan dapat membangun budaya demokrasi yang substantif lewat ruang deliberasi, pendidikan politik, pemberitaan yang relevan dengan kepentingan masyarakat, pengawasan, dan kontrol sosial-politik. Namun, jika demokrasi tersebut masih "dangkal", Benjamin Barber (1990) menyebutnya: thin democracy, maka peran media juga akan sebatas permukaan. Karena, pada hakekatnya, tak ada dasar filosofisnya bahwa televisi pertama-tama harus mengapdi pada masyarakat, tetapi tak satu pun dapat membantah bahwa negara tak adalah artinya tanpa rakyat.

Di tengah kealpaan demokratisasi media itu, mahkluk raksasa datang menyergap. Media pun dilumat hingga tak mudah lagi mengenali karakter normatifnya. Wujud kepentingan publik dalam media televisi kemudian tinggal ampas-ampas usang di atas kertas.

Kita pun hanya bisa menunggu waktu, sambil pura-pura kaget ketika muncul lagi hal-hal yang menyayat kesadaran kita, seperti dua kasus di awal tulisan ini. Sebuah derita di negara yang korup. Media tanpa demokrasi yang substantif akan melahirkan hegemoni gaya baru. Demokrasi tanpa media akan memberi jalan bagi munculnya otoritarianisme negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun