Hari ini (Jumat 3 Februari 2012) ada perkembangan baru yang dilakukan KPK dalam penanganan kasus suap wisma atlet Palembang. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Abraham Samad selaku ketua KPK dalam jumpa pers di gedung KPK. Dikatakan bahwa KPK menetapkan seorang lagi tersangka baru dalam kasus wisma atlet yang menyeret M. Nazaruddin selaku mantan Bendahara Umum PD. Tersangka baru yang dimaksud adalah seorang perempuan berinisial AS. Peningkatan status seorang AS yang awalnya sebagai saksi menjadi tersangka ini merupakan hasil pengembangan dalam proses penyelidikan yang dilakukan KPK. Publik dengan gampang bisa menebak bahwa AS yang dimaksud Ketua KPK adalah Angelina Sondakh.
Peningkatan status AS menjadi tersangka sebenarnya bukan berita baru. Publik sudah lama menunggu-nunggu kejelasan penanganan kasus wisma atlet yang ditangani oleh KPK untuk membukanya secara terang benderang. Masih banyak nama pejabat yang ikut terseret dalam kasus tersebut. Di sini kita mengharapkan KPK terus mengembangkan proses penyelidikan dan penyidikan agar mereka semua yang terlibat dalam kasus tersebut diproses sesuai dengan ketentuan hukum. Kita tunggu saja, untuk saat ini KPK masih bisa dibanggakan.
Banyak pemandangan ironik yang terlihat dalam kasus-kasus korupsi saat ini. Kita dapat melihat bahwa tren korupsi yang terjadi semakin menggurita. Dulu hanya orang-orang yang berada dalam lingkaran penguasa yang 'boleh' melakukan korupsi, kini dilakukan oleh siapapun yang memiliki kesempatan untuk melakukannya. Orang-orang yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi kini kini dihiasi oleh wajah-wajah orang muda. Mereka sebenarnya masih punya banyak waktu untuk berbuat lebih banyak kepada masyarakat namun uang membutakan mereka. Jika dibiarkan terus menerus akan sangat buruk dikemudian hari.
Dimana posisi korupsi Indonesia di antara negara-negara di dunia?. Transparency International merilis hasil survey mereka sesuai diberitakan kompas.com, Kamis (1 Desember 2011) bahwa Indonesia berada pada posisi ke-100 dari 183 negara yang disurvey. Corruption Index Perseption/Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tanggal diumumkannya hasil survey hanya naik sedikit yang sebelumnya 2,8 menjadi 3,0. Rentang indeks berdasarkan angka dari 0-10 dimana angka paling bawah menunjukkan persepsi paling korup. Dari data tersebut terlihat jika korupsi Indonesia masih masif.
Warisan budaya seperti apa yang akan diberikan kepada generasi masa depan Indonesia?. Pada saat ini kita bisa berfikir keras untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi namun untuk urusan jangka panjang bagaimana?. Menurut subjektivitas saya, perlu ada grand design atau cetak biru pemberantasan korupsi Indonesia.
Sasaran utama cetak biru ini adalah anak-anak usia muda pada aras akar rumput, anak-anak pada level pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Semacam pembangungan mindset dari bawah ke atas. Sampikan kepada mereka semua hal yang tergolong tindak pidana korupsi dan ajarlah mereka untuk tidak melakukannya. Siapa yang akan mengisi pembangunan Indonesia kalau bukan generasi muda tersebut.
Anak-anak Indonesia sangat membutuhkan pembelajaran antikorupsi. Tambahkanlah pelajaran itu dalam kurikulum-kurikulum sekolah agar di semua institusi pendidikan hal itu diajarkan. Tujuan yang ingin dicapai agar anak-anak Indonesia memahami bahwa tindakan 'ini' dan 'itu' tergolong perbuatan korupsi. Agar mereka memahami bahwa menerima uang ketika akan memilih kandidat dalam Pemilu adalah tindakan penyogokan, agar mereka memahami bahwa memberikan uang kepada pak Lurah agar membantu menguruskan KK adalah tindakan gratifikasi, agar mereka memahami bahwa Rp.20.000 sebagai uang damai dengan polisi di jalanan adalah tindakan bodoh. Agar mereka cerdas!. Maka dalam jangka panjang, Indonesia akan dibangun oleh masyarakat dengan peradaban yang membenci korupsi.
Sudah saatnya Jakarta memperkaya kurikulum anak-anak didik di seluruh tanah air supaya terbangun pola pikir yang sama terkait dengan masalah korupsi.
Apa yang membedakan grand design yang saya maksud ini dengan upaya pemberantasan korupsi saat ini yang dilakukan oleh negara?. Negara memiliki aparatur dan payung hukum terkait dengan pemberantasan korupsi seperti UU No 28/1999, UU No 31/1999, UU No 20/2001, UU No 30/2002 serta UU No 7/2006. Perangkat tersebut adalah hukum positif yang saya pikir belum cukup mampu untuk mentransformasi budaya korup menjadi budaya jujur. Pihak yang disasar oleh hukum positif tersebut juga masih berkutat pada lingkaran birokrasi dan penguasa, belum cukup mampu membereskan penyogok-penyogok kecil pada lingkungan RT. Tren yang terlihat adalah pemberantasan korupsi berpola dari atas ke bawah.
Mari berfikir dan berbuat untuk ENDONESA!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H