Â
"Tuh Pak orangnya yang tukang demo, sini Mas Topik ada Pak Menaker lho," ungkap Mbak Tamita Wibisona ketika gelaran Kompasianival tahun 2018.
Sebagian Kompasianer lawas memang tahu bahwa penulis kerap mengikuti aksi berkaitan dengan ketenagakerjaan. Menjadi aktifis buruh bukan melulu tentang demo di jalanan dan menyuarakan aspirasi, ternyata bertemu dengan sesama aktifis buruh pun memberikan pencerahan yakni pentingnya toleransi beragama,lho kok?
Memasuki dunia kerja seraya aktif di serikat pekerja menjadi hal yang menyenangkan, bertemu banyak orang dan dengan latar belakang, ras berbeda dan juga keyakinan yang dianut. Namun bukan untuk menjadikan ini sebuah pertentangan, plis deh bila ada orang yang ingin berantem karena perbedaan keyakinan lebih baik angkat kaki dari tanah air tercinta.
Tanah air tercinta memang dari dahulu kala memiliki keragaman budaya dan juga ada agama yang diakui negara, dengan tipikal negara plural dan heterogen, menjadi penting bila saling menjaga toleransi, Beruntung bahwa dunia kerja semacam miniatur Indonesia, senang bisa kenal seorang dari suku Batak dan beragama Kristen Protestan, atau juga orang Maluku dan suku lainnya dan keyakinan berbeda beda
Kita juga saling menghormati dengan sesama pekerja walau berbeda keyakinan, tetap menaruh respek kepada pimpinan kerja. Satu sama lain saling menjaga dan tak saling mengusik, indahnya kehidupan bisa jadi berawal dari perbedaan yang ada, saatnya bagi kita semua lebih arif  memaknai perbedaan.
Mentor Itu bernama Putu Raka Pendit
                    Â
Tahun 2009 awal penulis menggeluti organisasi Serikat Pekerja, bukan untuk sok sokan dan petantang petenteng namun lebih ingin belajar. Selama bekerja ya sudah bekerja, waktunya pulang dan kembali lagi ke esokan harinya. Ternyata setelah memasuki Serikat Pekerja ada nuansa lain, belajar tentang hak pekerja dan juga jaminan untuk memilih atau tidak memilih menjadi anggota Serikat Pekerja.
Salah satu orang yang menjadi mentor penulis adalah Putu Raka Pendit, saat itu beliau merupakan ketua umum Serikat Pekerja sebuah bank nasional ternama. Sejujurnya penulis belajar banyak dari Pak Putu ini ketika awal awal aktif menjadi anggota serikat pekerja, beliau tak segan segan membagi ilmunya.
Yang tak pernah lupa ketika penulis kehabisan ongkos dari Tanah Abang untuk menuju Cikarang, dengan sukarela Pak Putu memberikan sejumlah uang agar penulis bisa melanjutkan perjalanan, apalagi saat itu waktu hampir tengah malam, beruntung juga deh akhirnya bisa pulang ke rumah dengan uang pemberian Pak Putu.