Suara alunan takbir bergema, satu Syawal sebagai pertanda bahwa hari yang baru telah menggantikan Ramadan. Lebaran bagi kita semua, membuka lembar baru dan saling memaafkan.Â
Namun adakah itu hanya terucap di bibir? Sedangkan kata hati tidaklah demikian. Memaafkan butuh seni tersendiri karena tak semua kata yang terucap adalah mewakili perasaan.
Lebaran bagi ummat muslim di Indonesia merupakan momentum untuk saling memaafkan, terjadinya mudik atau pun pergerakan puluhan ribu orang dari satu tempat ke tempat lain menjadi tradisi yang tak bisa dihapus begitu saja. Moment lebaran dianggap spesial karena berkumpul kembali keluarga yang tadinya saling berjauhan karena jarak dan tempat tak sama lagi.
Jauh jauh dari perantauan, melawan rasa penat, kantuk dan juga penyekatan yang terjadi di jalanan, hanya untuk memaafkan, saling memaafkan.Â
Pentingkah saat ini saling memberi maaf secara fisik setelah kemudahan teknologi menyertai kita untuk saling bertemu secara virtual, ini menjadi pertanyaan yang menggelitik bagi kita semua yang mengalami situasi pandemi dan terpaksa untuk saling memaafkan secara virtual.
Bagaimana sih mengelola kata maaf dan juga tentunya memaafkan orang lain, bahkan ada istilah populer yakni "Tiada maaf  bagimu." Lebaran membuka kembali pilihan untuk saling memaafkan, sejatinya moment saling memaafkan tidaklah harus di saat lebaran semata. Semoga di hari nan fitri ini, kita semua diberkahi hati seluas samudera untuk mampu memberi maaf. Ada mangkel di hati lebih baik keluarkan saja, tak perlu memelihara dendam.Lebaran hari ini memberikan pelajaran penting untuk saling memaafkan.
Memberi Maaf Bukan Pertanda Jiwa yang Lemah
Setiap manusia dalam urusan keseharian tak bisa menghindari namanya interaksi, apalagi saat ini yang namanya berhubungan dan terkoneksi dengan orang banyak semakin terbuka karena adanya media sosial. Bisa jadi yang tadinya baik baik saja, karena mungkin ada ketersinggungan malah menjadi beda dan konflik pun terjadi.
Dalam dunia nyata sehari hari pun bukan hal yang aneh jika satu ketika ada ketidaksepakatan antara kita dengan orang lain. Seperti hidup bertetangga dan rumahnya saling berdekatan karena satu komplek perumahan. Hanya gegara persoalan yang terbilang sepele seperti tanaman yang menjorok ke arah rumah tetangga, atau tentang anak anak, ada saja yang membuat kita merasa jengkel.
Secara perilaku kita sudah merasa benar namun belum tentu menurut orang lain, apakah memaafkan kesalahan orang lain menandakan jiwa kita yang lemah, mungkin hasil riset ini mampu memberi acuan untuk mampu memberi maaf secara tulus dari hati. "Kekuataan pemaafan, meski sangat sulit dapat mengubah hidup dan menguatkkan hidup(Mc Collough, Root, Tabak & Van Oyen,Witvliet 2020).