Mohon tunggu...
Topik Irawan
Topik Irawan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Full Time Blogger

Full Time Blogger

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyambung Hidup di Saat Bencana Itu Bernama Radio

6 Juli 2017   22:51 Diperbarui: 10 Agustus 2017   18:25 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesona siaran radio selalu hadir menemani setiap saat(dokpri)

                 

Generasi milenial yang lekat dengan perangkat teknologi dan juga mudahnya menerima informasi melalui media online memiliki sisi menarik. Tak dinyana memang kegandrungan akan ampuhnya siaran radio terus berjalan dan tumbuh di genarasi yang relatif lebih muda ini, menurut hasil riset Nielsen Radio Audience Measurement pada kuartal ketiga 2016 membeberkan fakta 57 % pendengar radio adalah generasi milenial. Radio masih di minati dan radio  masih mempunyai berjuta penggemar.

Media radio ternyata masih ampuh di gunakan untuk mensosialisasikan sadar bencana, mengingat wilayah Indonesia yang di kenal dengan keindahan alam, cantiknya nusantara dan indahnya pantai serta kokohnya pegunungan namun menyimpan kerentanan bencana alam seperti letusan gunung, banjir, kebakaran hutan, tanah longsor dan rentetan bencana seakan akrab dalam hitungan kalender yang kita miliki.

Sebulan yang lalu saat masih merasakan hangatnya suasana Ramadhan, kompasianer yang berada di seputaran Jabodetabek di ajak untuk lebih tahu banyak tentang fungsi radio dalam meningkatkan siaga bencana di masyarakat.

Bertempat di Graha Badan Penanggulangan Bencana di Jalan Pramuka Raya Nomor 38, Jakarta Timur. Hadir sebagai nara sumber adalah Bapak Willem Rampangilei yang menjabat Ketua BNPB. Bapak Sutopo Purwo Nugroho sebagai Kapusdatin Humas BNPB, Bang Ferry Fadly yang dulu ngetop berperan sebagai Brama Kumbara di serial legendaris Saur Sepuh. Sutradara Asmara di tengah Bencana, Haryoko. Tak ketinggalan nara sumber beken lainnya adalah Effendi Gazali, praktisi komunikasi. Di pandu oleh Bang Isjet dari Kompasiana maka obrolan pun terasa hangat dan penuh makna.

Narasumber, moderator dalam acara nangkring Kompasiana-BNPB(dokpri)
Narasumber, moderator dalam acara nangkring Kompasiana-BNPB(dokpri)
Lifeline Bernama Radio Yang Tak Menyerah Dengan Kemajuan Teknologi

Peraih Nobel Fisika tahun 1909 yang juga penemu Radio, Guglielmo Marconi di tahun yang sama ketika ia meraih nobel terjadi tragedi tenggelamnya kapal  S.S Republic, berkat radio dengan berita yang tersiarkan para penumpang kapal dapat terselamatkan dan korban meninggal dapat di minimalkan. Rasanya tepat apa yang di suarakan mantan Sekjend PBB Ban Ki-moon yang di sampaikan kembali oleh kepala BNPB Willem Rampangilei menyebutkan bahwa radio adalah lifeline, si penyambung hidup apabila terjadi bencana.

Informasi informasi yang di siarkan radio saat bencana bermanfaat untuk penyelamatan, di samping radio memang memberikan informasi yang berguna untuk masyarakat dan ada juga fungsi hiburan.

Sepanjang tahun 2017 di antara bulan Januari hingga 31 Mei terdapat 1.224 kejadian bencana di nusantara dengan jumlah meninggal sebanyak 185 orang, ribuan orang yang luka luka akibat bencana serta ada 102 juta orang yang harus mengungsi dari berbagai bencana yang terjadi di tanah air. Negara harus menanggung kerugian 30 triliun pertahun saat bencana datang, di tahun 2014 saat kebakaran hutan merebak dan catatan kerugian ekonomi mencapai 221 triliun.

Degradasi lingkungan menyumbang faktor terjadinya bencana, perubahan iklim dengan rusaknya ribuan hektar hutan seakan melengkapi bahwa bencana itu semakin komplek dan penanggulangan bencana pun menjadi keniscayaan yang harus di lakukan secara serius. Tak mungkin BNPB dan juga pemerintah yang menjadi tumpuan saat bencana datang, di perlukan kesetiakawanan untuk penanggulangan bencana. Edukasi terus di lakukan oleh BNPB dan satu hal yang pasti radio bagian penting untuk penyebaran informasi.

Salah satu dari bagian edukasi penanggulangan bencana dengan adanya sebuah serial radio. Jumlah pendengar radio yang 'memasang kuping' untuk mendengarkan Asmara di tengah Bencana mencapai jumlah signifikan sebesar 43 juta pemirsa. Radio tetap memiliki pangsa pasar tersendiri meski hadir di tengah kepungan informasi berbasis internet.

Sandiwara Radio, Pitutur Legendaris Yang Lekat Dalam Ingatan Dan Bebas Dalam Imajinasi

Sosialisasi sadar bencana perlu kita dukung bersama(dokpri)
Sosialisasi sadar bencana perlu kita dukung bersama(dokpri)
Seorang Praktisi Komunikasi kondang bernama Effendi Gazali membongkar ke khasan cerita sandiwara radio, bagi kompasianer yang mengalami masa kejayaan menikmati sandiwara radio mulai dari Saur Sepuh, Misteri Gunung Merapi hingga Ibuku Sayang Ibuku Malang pastinya mempunyai karakter favorit, salah satu karakter kuat dalam sandiwara radio Saur Sepuh adalah pendekar wanita yang memiliki kesaktian mumpuni, dia adalah Mantili.

Kecantikan Mantili seakan terlihat nyata dan tetap hidup di sanubari para penikmat sandiwara radio, namun gambaran Mantili pasti akan berbeda sesuai presepsi masing masing pendengar radio. Keunikan radio memikat BNPB untuk membuat sandiwara radio di tahun 2016 dengan judul Asmara di tengah Bencana, sekuel berikutnya di lanjut dengan Asmara di tengah Bencana episode 2 yang di siarkan 100 episode meliputi 60 kab/kota di pulau Jawa, 20 kab/kota di luar Jawa serta 20 radio komunitas.

Meningkatnya trend bencana yang di dominasi bencana hidrometorologi seperti banjir, tanah longsor,puting beliung, kekeringan serta kebakaran hutan cukup membuka mata seharusnya bagi seluruh lapisan masyarakat bahwa kita abai menjaga alam. Budaya sadar bencana harus terus di tingkatkan, dengan genial BNPB membuat sebuah sandiwara radio berlatar roman sejarah dengan setting Mataram kuno melawan hegemoni VOC ketika letusan gunung Merapi.

Bagaimanapun sandiwara radio tetap ada di hati masyarakat Indonesia, di tengah kecamuk pertentangan tokoh tokoh sentral Asmara di tengah Bencana, ada pesan moral yang terselip betapa penanggulangan bencana memang di perlukan, kisah manis asmara berbalut keserakahan ambisi bertahta seakan melarutkan emosi pendengar setia.

Turun Gunungnya Seorang Master Sandiwara Bernama Ferry Fadli

Tantangan salam dari Ferry Fadli untuk mengetes apakah blogger penggemar Brama Kumbara sejati dengan mengucapkan satu kalimat yang menjadi sapaan untuk rakyat Madangkara.

                         "Sampurasun...!"

                         " Rampes." Jawab Kompasianer yang berada di Graha BNPB.

Brama Kumbara eh Ferry Fadli pun tersenyum puas, legenda hidup sandiwara radio itu pun terlihat sumringah melihat antusias kompasianer, menurut Ferry Fadli sebenarnya ia ingin mundur dari kancah persandiwaraan radio, namun ajakan BNPB meluluhkan hati Ferry Fadli karena konten ADB 2 memiliki karakter kuat sebagai program pemerintah yang memang baik untuk rakyat Indonesia untuk mengedukasi tentang penanggulangan bencana.

Dalam ADB 2, Ferry Fadli memerankan tokoh Djatmiko yang berkontra dengan ayah sendiri yang mempunyai jabatan Tumenggung, Djatmiko yang memilih jodohnya dengan anak seorang Lurah dan itu di tentang oleh ayahnya yang merasa perempuan pilihan Djatmiko tidak sederajat.

Suara Ferry Fadli masih tetap prima, berbilang tahun ternyata suara itu hadir kembali dalam 100 episode ADB 2, bagi kompasianer yang besar di era 80an hingga 90an, tentunya kehadiran legenda hidup Ferry Fadli seakan mengobati rindu tentang keseruan drama radio yang pernah ngehits.

Menjawab Tantangan Penanggulangan Bencana Dengan Sandiwara Radio

Era keemasan drama radio di medio tahun 1985 hingga 1990 seakan melingkupi jagad hiburan , namun maraknya televisi dan gempuran hiburan lainnya membuat pamor sandiwara radio seakan tenggelam. Sutradara ADB 2, Haryoko merasa tertantang membuat sandiwara radio yang di anggap sebagai hiburan yang kuno, ndeso dan jadul. Namun faktanya di daerah yang di luar lingkup Jabodetabek ternyata sambutan radio sangat antusias.

Dengan menjaring jumlah pendengar sebanyak 43 juta, Haryoko merasa bangga ada lanjutan episode ADB dengan jumlah episode yang lebih banyak. Drama radio memberikan pesan edukasi dengan mencegah bencana dengan menyisipkan cerita moral tentang upaya pencegahan dan penanggulangan bencana.

Sebaran dan jenis bencana di tanah air mulai dari gempa bumi, tanah longsor hingga tsunami ataupun gunung berapi seakan mengintai kepulauan di nusantara, perlu niat yang kuat untuk menjawab tantangan bencana melalui segmen sandiwara radio. Baik bencana alam, bencana non alam hingga konflik sosial perlu di perhatikan lebih serius. Budaya sadar bencana di Indonesia masih rendah, perlu ada upaya sistematis agar budaya sadar bencana di tingkatkan di masyarakat Indonesia.

Nostalgia tentang sandiwara radio dengan segenap kejayaan yang pernah di miliki seakan menjadi amunisi bahwa kita pun bisa lebih peduli tentang bencana, jangan ada lagi cerita baterai seismograf di curi, tak ada lagi pembalakan hutan dengan cara membakarnya. Semoga sandiwara radio dengan kisah ADB 2 yang di bidani BNPB memberikan pencerahan tentang perlunya semua lapisan masyarakat paham apa itu mitigasi bencana menyelamatkan korban jiwa, mengurangi jumlah bencana.

Edutainment Di Daerah, Semangat Memadukan Iptek Dan Kearifan Lokal

Kearifan lokal melekat kuat dalam tatanan masyarakat, untuk mendeteksi akan adanya bencana, masyarakat sekitar gunung yang akan meletus akan melihat hewan hewan menjauh dari puncak, inilah deteksi berdasar kearifan lokal. Di zaman yang kini mulia di sebut canggih, ilmu teknologi pun sangat di perlukan, adanya seismograf dan juga sensor vulkanik memberikan rincian akurat tentang situasi terkini gunung.

BNPB selama ini berupaya untuk terus menggalakan peduli bencana dan memberikan pemahaman tersebut melalui edutainment yang lebih mudah di cerna, apa yang di lakukan BNPB untuk sosialisasi penaggulangan bencana mendapat respon positif masyarakat. Pun dengan kehadiran sandiwara Radio Asmara di tengah Bencana yang mendapat sambutan luar biasa. Semoga kita pun akan terus siap untuk sebarkan informasi tentang penanggulangan bencana, dan radio menjadi wahana strategis untuk menggemakan budaya sadar bencana.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun