Mohon tunggu...
Topik Irawan
Topik Irawan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Full Time Blogger

Full Time Blogger

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LombaPK]Belajar dari Restorasi Film Tiga Dara, Saatnya Menyelamatkan Arsip Film Nasional dari Kepunahan

11 September 2016   05:53 Diperbarui: 26 September 2016   08:16 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Tiga Dara saat pemutaran perdana hasil restorasi(dokpri)

Sejarah perfilman di Indonesia sebenarnya tidak tertinggal jauh dengan akar sejarah perfilman dunia, jika tanggal 28 Desember di rayakan sebagai hari film dunia dengan mengacu hadirnya film Workers Leaving the Lumiere’s Factory yang tayang tanggal 28 Desember 1895. Di Indonesia pada tanggal 5 Desember 1900 hadir sebuah bioskop di daerah Tanah Abang yang memutar film atau saat itu di sebut Gambar Idoep, era perfilman pun masuk ke daerah Hindia Belanda atau Indonesia sekarang.

Begitu juga pembuatan film di Indonesia di mulai saat film bisu pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng di produksi tahun 1926. Hollywood pun membuat film filmnya sekitar tahun 1920an, film di Indonesia sebenarnya tidak tertinggal jauh dengan sejarah film dunia. Namun untuk pergerakan film di era Indonesia merdeka, hari film nasional di peringati setiap tanggal 30 Maret, sebuah peringatan untuk mengenang syuting pertama film produksi nasional dengan sutradara dan crew film orang Indonesia, Film Darah Dan Doa yang pengambilan gambarnya di laksanakan pada tanggal 30 Maret 1950 di tetapkan sebagai hari perfilman nasional.

Film Darah dan Doa di sutradari oleh Usmar Ismail, begitu juga film Tiga Dara yang merupakan film musikal produksi tahun 1956 dengan para pemainnya yaitu Chitra Dewi,Mieke Wijaya dan Indriati Iskak.

Restorasi Film Tiga Dara, Upaya Mahal Selamatkan Film Nasional

Aktor Lukman Sardi berpose di depan poster film Tiga Dara(dokpri)
Aktor Lukman Sardi berpose di depan poster film Tiga Dara(dokpri)
Lebih baik mencegah dari pada mengobati, peribahasa jadul ini sepertinya persis dengan nasib film film klasik Indonesia yang di buat antara tahun 1950-1970an, entah karena penyimpanan film yang kurang atau boleh juga banyak orang yang tak peduli, kondisi phisik film di tahun pembuatan 50-70an sangatlah memprihatinkan. Namun beruntung juga nasib film klasik Tiga Dara yang di besut sutradara kenamaan Usmar Ismail, melalui jalan panjang restorasi akhirnya fim Tiga Dara kembali bisa hadir dengan kualitas suara dan gambar lebih jernih.

SA Film berhasil merestorasi film Tiga Dara dan tak tanggung tanggung untuk budget memperbaiki film Tiga Dara mencapai nilai 3 milyar, sebuah angka yang cukup mahal untuk sebuah restorasi film, namun upaya SA Film patut kita apresiasi. Konon di zamannya saat rilis pertama film ini di tahun 50 an, film Tiga Dara termasuk film box office dengan pendapatan 10 juta untuk penjualan tiketnya dan merajai di bioskop bioskop tanah air. Kepopuleran film Tiga Dara menarik minat presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno untuk menayangkan secara pribadi di istana negara di Bogor saat ulang tahun Ibu Hartini.

SA Film merestorasi film Tiga Dara dengan format 4K, dan kita menikmati sajian film restorasi dengan nyaman, semoga nantinya akan ada kembali restorasi restorasi film klasik Indonesia sehingga harta karun film Indonesia bisa terselamatkan.

Vinegar Syndrome Musuh Utama Film Lawas Indonesia

Indonesia negeri tropis, sebuah negeri yang menjadi dambaan banyak masyarakat dunia dan dengan cahaya mentari bersinar sepanjang hari yang membuat iri penduduk yang tinggal di daerah empat musim. Namun iklim tropis yang lembab membuat kita mewaspadai benda benda yang klasik dan berumur malah rusak karena faktor iklim.

Film Tiga Dara yang telah berumur 60 tahun, awalnya dalam kondisi mengenaskan dengan banyaknya ‘kanker film’ atau vinegar syndrome, hampir semua film memakai pita plastik selulosa asetat, penyimpanan yang kurang memperhatikan temperatur ruangan dan di simpan kondisi cuaca yang lembab dan hangat maka umur film akan semakin pendek. Rerata film film klasik Indonesia mengalami nasib sama seperti film Tiga Dara sebelum restorasi.

Karena termakan usia dan juga kondisi iklim dan juga penyimpanan film dalam kondisi tidak ideal, film film lawas akhirnya mengalami nasib seperti bagian film ada yang patah, kotor dan berdebu sehingga kualitas gambar pun memudar, buram, audio pun tersendat dan lebih parah lagi kondisi film bisa benar benar tidak bisa di putar karena rusaknya fisik film.

Restorasi film Tiga Dara semoga mengingatkan kita semua bahwa masih banyak film film klasik Indonesia yang belum seberuntung film Tiga Dara, ada ratusan film yang harus di perhatikan dan juga mesti kita rawat bersama agar tidak punah begitu saja.

Film Lawas Adalah Sebuah Refleksi Zaman Agar Kita Mau Belajar

Pemeran Film Tiga Dara, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak saat peluncuran FFI 2016(dokpri)
Pemeran Film Tiga Dara, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak saat peluncuran FFI 2016(dokpri)
Tiga Dara adalah film bergenre musikal namun ada sentuhan komedi dan juga sebuah parodi yang di selipkan oleh sutrada Usmar Ismail. Adalah Nenek(diperankan Fifi Young) yang galau karena cucu tertuanya bernama Nunung(diperankan oleh Chitra Dewi) belum juga beranjak menuju ke pelaminan. Keresahan Nenek karena Nunung tertutup untuk urusan asmara, maka ia pun menyuruh Sukandar(Hassan Sanusi) yang merupakan ayah dari Nunung, Nana(diperankan Mieke Wijaya) dan juga Nenny(Indriati Iskak) mencarikan jodoh untuk Nunung.

Ternyata untuk era di tahun 50an masalah jodoh membuat panik seorang nenek, ia tak ingin cucunya menjadi perawan tua karena tenggelam dalam kesibukan dapur. Sangat kontras dengan zaman sekarang saat banyak di usia matang, para perempuan memilih mengejar karier dan belum resah saat jodoh tak jua tiba. Inilah yang membuat Tiga Dara menjadi menarik bagi kita semua, saat generasi milenial belum lahir dan gambaran situasi tahun 50an bisa kita saksikan lewat film Tiga Dara.

Tentang fashion di zaman 50an dengan balutan busana yang klasik, Chitra Dewi terlihat elegan dengan kain yang dikenakan, ada juga adegan saat Nenek akhirnya menyerah saat Nunung memakai stagen agar terlihat langsing, sebuah potret masyarakat di era jadul bisa kita ketahui melalui film adalah hal yang keren menurut penulis.

Di Film Tiga Dara kita bisa melihat bagaimana para muda mudi berkumpul dan bersosialisasi, meski saat itu tanpa gadget seperti sekarang namun mereka melewati hari hari dengan cerah ceria, kongkow kongkow seraya menari ala tarian Melayu, di zaman tersebut sangat mungkin tarian tersebut adalah cara jitu untuk di sebut gaul, mungkin.

Sebagai film yang di balut dengan musikalitas yang dominan maka penonton di suguhi lagu lagu yang juga menjadi hits saat itu, tak tanggung tanggung para legenda musik Indonesia pun menyuguhkan karya mereka di film Tiga Dara, nama nama seperti Ismail Marzuki, Saiful Bahri dan Oetjin Nurhasjim. Musik di era tahun 50an yang jauh dari kebisingan musik digital membuat kita mengakui bahwa musik era tersebut lebih orginal dan kualitas musiknya memang jempolan. Pengisi sountrack film Tiga Dara pun begitu luar biasa, olah vokal mereka begitu prima, nama nama seperti Bing Slamet, Djuita, Sam Saimun, S Efenddy mampu membuai penonton dengan lagu lagunya.

Maka nada nada indah di lagu Tamasja, Tiga Dara,Letnan Hardi dan juga Siapa Namanja terdengar keren meski telah melewati enam dekade dan dari lagu lagu tersebut kita pun bangga pernah mempunyai komposer sehebat Ismail Marzuki dan koleganya.

Tiga Dara Menggapai Asa,Film Nasional Perlu Kualitas Dan Jadi Identitas

Pernah terjadi satu ketika film film yang bertabur adegan Bupati alias buka paha tinggi tingi dan juga wabah Sekwilda atawa sekitar wilayah dada. Saat film nasional di pacu untuk adegan ranjang, di antara dominasi film yang berformat syur. Sialnya kartel layar bioskop pun merajalela sehingga perlahan lahan bioskop bioskop di berbagai tempat akhirnya gulung tikar.

Dulu di daerah Bekasi ada beberapa bioskop yang memutar film nasional dengan jumlah penonton yang signifikan, bahkan di Cikarang pernah mempunyai tiga bioskop sekaligus namun tragisnya kini bioskop menjadi gedung tua yang terlantar.

Bangkitnya film Indonesia di awal milenium menjadi angin segar, dan kini anak bangsa mempersembahkan restorasi film Tiga Dara, restorasi film di L’immagine Ritrovarta Bologna, Italia. Upaya restorasi dengan biaya 3 milyar ini akhirnya berbuah manis, generasi milenial yang sepanjang hidupnya bersentuhan dengan gadget bisa menikmati karya adi luhung dari bapak film nasional Usmar Ismail tanpa harus mengernyitkan alis karena kondisi film restorasi begitu prima.

Di masa jayanya film Tiga Dara pernah di tayangkan dalam Festival Film Venecia tahun 1959 dan itu merupakan sebuah kehormatan bagi film Indonesia. Film Indonesia perlu di buat dengan kualitas baik dan memberi pencerahan bagi penonton dan tanpa harus menampilkan drama drama lebay yang berputar pada kisah syahwat yang terbukti gagal mengangkat harkat film nasional bahkan orang enggan ke bioskop.

Restorasi film Tiga Dara memberi sebuah pelajaran bahwa penonton akan berbondong bondong bila film bagus, maka penulis pun bisa merasakan betapa sebenarnya masyarakat Indonesia tetap merindukan film film tanah air, mereka antri dengan antrian yang cukup panjang untuk menonton film anak negeri, semoga perfilman nasional tidak mati suri lagi. Maju terus film Indonesia, jadilah tuan rumah di negeri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun