Mohon tunggu...
Topik Irawan
Topik Irawan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Full Time Blogger

Full Time Blogger

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Meski Jadi Jurnalis Tak Pernah Tersentuh, Di Kompasiana Menemukan Atmosfir Jurnalistik

25 Mei 2016   18:23 Diperbarui: 25 Mei 2016   18:44 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Kompasianer terbaik tahun 2014, Yusran Darmawan(dokpri)

Di besarkan di sebuah kampung yang belum teraliri listrik di tahun pertengahan 80an bukan berarti tak punya cita cita, kalau di tanya apakah cita citamu kelak saat besar nanti, beragam jawaban pasti di jawab dengan lugas, ingin jadi dokter, tentara, atau guru. Namun bagi penulis bukan jawaban itu yang di jawab, dengan pasti penulis yang waktu itu masih sekitar 9 atau 10 tahun dan berseragam putih merah dekil karena sering dipakai juga sebagai seragam main bal balan. Ingin jadi wartawan, selalu begitu dan terus di jawab dengan jawaban yang sama, jadi wartawan!

Kenapa harus wartawan? Padahal profesi wartawan bukanlah pekerjaan mentereng semisal dokter yang terlihat keren dengan baju putihnya, tentara yang gagah dengan seragam dan juga senapan yang di sandangnya, namun profesi wartawan membuat penulis jatuh hati dan satu ketika bisa jadi wartawan. Adalah Ua Guru, kakak dari Bapak penulis yang mempunyai koleksi bacaan lumayan banyak, mulai dari majalah hingga buku buku dengan ketebalan ekstrim ada di rak bacaan, Ua penulis bernama Sumarmo yang berprofesi sebagai Penilik Sekolah yang merupakan pecinta buku, mengkoleksi banyak sumber bacaan, sesuatu yang jarang di lakukan orang di sebuah kampung.

Meski harus berjalan beberapa kilo meter menuju rumah Ua Guru begitulah kami menyebut beliau namun demi mendapatkan bacaan maka berjalan bukanlah hal yang merintangi, maka terlahaplah aneka buku, majalah, koran, semuanya gratis dan sering kali Ua Nuning yang istri dari Ua Guru menyiapkan menu makanan bagi kami para ponakan tercintanya, semoga kebaikan Ua Guru dan Ua Nuning menjadi amal kebajikan.

Harian Kompas Dan Majalah Tempo Semakin Meneguhkan Hati Menjadi Jurnalis

Sering membaca memberi dampak yang luar biasa, meski penulis bukanlah pelajar berotak encer namun dengan hobi baca ternyata memberi manfaat lain, kebetulan di perpustakaan SMP tersedia harian Kompas meski telat sehari, biasanya koran tersebut sisa bacaan dari guru yang di simpan di perpustakaan pada hari berikutnya, meski tak up date tapi koran tersebut bermanfaat untuk menambah wawasan.

Untuk majalah saya selalu suka dengan tulisan tulisan wartawan Tempo yang menyajikan reportase hangat dengan gaya tulisan memikat, perang antara Libya dan Amerika Serikat di pertengahan tahun 80an seolah nyata di depan mata, dan ini semakin meneguhkan hati untuk mengejar cita cita jadi wartawan. Semua artikel di majalah Tempo di babat habis termasuk Indonesiana yang berisi artikel lucu,kocak, aneh tentang perilaku orang orang di Indonesia, rubrik hukum dan kriminal hingga olah raga. Dan tak ketinggalan adalah rubrik Catatan Pinggirnya Goenawan Muhammad.

Sajian liputan di harian Kompas dan majalah Mingguan Tempo seakan menjadi bahan bakar akan mimpi di masa depan, menyandang profesi wartawan, berbekal tape recoder dan kamera dan juga notes untuk menulis menjadi sebuah angan yang tak pupus dari benak penulis, mengasah kemampuan dengan terus membaca dengan sumber bacaan mulai dari perpustakaan sekolah, nebeng baca atau merogoh kocek untuk sekedar beli buku, majalah dan tabloid.

Oom Didi Dan Nyala Api Mimpi Yang Makin Berkobar

Pernikahan saudara sepupu dengan seseorang yang berprofesi sebagai wartawan semakin menyuburkan niat penulis berada di profesi yang saat itu di sebut kuli tinta, sosok Oom Didi kami menyebutnya demikian, adalah wartawan yang bekerja di sebuah harian ternama ibu kota, tutur kata Oom Didi yang runut, lugas dan tegas di tambah dengan sejumlah tulisannya yang di muat di surat kabar membuat penulis pun menaruh respek.

Mungkin Oom Didi tak pernah tahu bahwa secara diam diam saya mencuri ilmu kewartawannya dalam interaksi bersama, lumayanlah bisa belajar dengan wartawan beneran bukan wartawan bodrex yang abal abal. Tiap moment lebaran dan pastinya Oom Didi pulang kampung merupakan peristiwa penting bagi penulis, di sanalah bisa bertemu dengan Oom Didi, maka terpuaskan pula mendengar pengalaman si Oom yang bertugas ke luar daerah, berkelana dari satu kota ke kota lain secara gratis dan di bayar pula oleh kantor, sepertinya memang menarik berprofesi sebagai wartawan.

Profesi wartawan yang di sandang Oom Didi ibarat magnet, pikiran saya selalu tertuju bahwa satu ketika pun penulis akan menjadi seorang wartawan, juru warta yang berkecimpung di dunia literasi pemberitaan. Tak dapat di pungkiri bahwa hadirnya Oom Didi dalam keluarga besar penulis memberikan citra positif tentang profesi wartawan, thanks untuk ilmunya ya Oom Didi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun