Mesin Tik, Diantara Hancurnya Mimpi Atau Penulis Fiksi
Ujian Masuk Perguruan Tinggi sempat di jajal meski akhirnya gagal, harus mengubur asa berjaket kuning dan menjadi bagian mahasiswa di sebuah kampus terkemuka tanah air, begitu pun dengan mimpi jadi wartawan, tak mungkinlah seorang lulusan SMA bisa jadi wartawan di sebuah koran atau pun majalah. Mimpi pun hancur berkeping keping dan kesedihan terasa menghujam, apa daya bahwa mimpi yang di bangun bertahun tahun pun musnah.
Ahirnya memilih realita di dunia kerja, menjalani pekerjaan sebagai pramuniaga di sebuah pasar swalayan, sambil bekerja dan diantara sela sela waktu kerja mencoba peruntungan untuk menulis fiksi. Meski banyak mengalami penolakan dan selalu gagal muat tetapi mencoba adalah proses yang harus di jalani.
Mesin tik pun di gunakan sebagai media mengukur kemampuan merangkai kata meski redaksi teramat sulit untuk di yakinkan, bertahun tahun mencoba dan akhirnya karya fiksi pertama pun di muat! Girang tak kepalang, akhirnya ada juga tulisan di hargai dan di muat, hmm penantian panjang yang melegakan. Sejak di muat, gelora menulis pun membahana dan mematri sebuah keyakinan, saya bisa!
Kompasiana Dalam Genggaman, Dunia Literasi Era Digital Yang Menyenangkan
Sejak tahun 2013, tepatnya bulan Agustus memberanikan diri login, sempat menunggu lama akhirnya bisa nulis juga di kanal kanal yang di sediakan Kompasiana. Serasa menemukan mainan baru, setiap hari memposting tulisan, tho tak akan di breidel redaksi, semua tulisan akan keluar seiring tombol posting, maka di antara keriaan, keinginan dan kegebiraan ternyata Kompasiana pun menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Tak di bayar kok mau maunya nulis, wara wiri yang tentunya ngabisin ongkos tapi kok di jalanani, itulah kelebat pertanyaan dari rekan rekan kerja, ya menulis di Kompasiana meang tak di bayar,menuju ke tempat berkumpulnya komunitas memang perlu extra biaya, namun itu sepadan dengan apa yang di dapatkan, interaksi dengan para Kompasianer adalah berkah tersendiri.
Sepanjang tiga tahun berada di Kompasiana,sudah banyak orang orang hebat yang saya temui, wabil khusus orang orang yang memang ahli untuk urusan jurnalistik dan dari mereka lah penulis banyak belajar. Maka penulis pun belajar pada Babeh Ipul atau Pak Syaiful. W. Harahap seorang wartawan kawakan yang concern berbicara tentang bahaya HIV/AIDS, berinteraksi dengan Bang Nur Terbit yang pernah menduduki pos pemred di sebuah harian sore ibu kota, bertatap muka dengan jawara Kompasianival tahun 2014, Bang Yusran Darmawan yang begitu ciamik merangkai kata kata.
Tentu saja hal yang tak bisa terlewatkan adalah mendapat transfer ilmu dari Kang Pepih Nugraha yang semua kompasianer tahu bahwa beliau adalah penggagas hadirnya blog keroyokan untuk warga biasa. Selain nama nama di atas, interaksi dengan Bang Gapey Sandy, Pak Thamrin Dahlan, Pak Lik Thamrin Sonata dan beberapa kompasianer lainnya semakin meyakinkan penulis bahwa di sinilah, di Kompasiana tempatnya belajar.
Mimpi Tak Terengkuh Jadi Jurnalis, Namun Berdekatan Dengan Dunia Jurnalistik Adalah Anugerah Terindah