Aku masih duduk di kursi dalam ruangan bercat putih, tempatnya biasa bekerja. Kulihat ia melucuti jas safari dan celana panjangnya begitu saja. Kaos singlet dan celana kolor yang melekat di badan, masih sempat aku saksikan.
Lalu, ia kenakan baju kemeja lengan pendek dan celana jeans yang terkesan lebih casual, pengganti baju kebesarannya sebagai seorang pejabat tinggi.
"Hmm.. Seorang pejabat negara yang sangat cuek... Ruang ganti yang berada di sebelah, terpaksa harus menganggur," komentarku dalam hati.
Oh iya, aku pernah sempatkan masuk ke ruang toilet pribadi yang menyatu dengan ruang kerjanya. Ah, mungkin karena begitu cueknya ia, sehingga tutup closet duduk yang sudah patah tetap saja dibiarkan terlihat jelas.
"Mengapa tidak langsung meminta bawahannya untuk segera menggantinya?" pikirku terus mengganggu.
Ia mulai duduk kembali. Perbincangan tentang BBM sempat aku dengarkan. Kontennya serius. Namun, rambutnya yang dibiarkan gondrong, dan jarang tersisir, menguatkan gayanya yang tetap terkesan santai. Selingan canda dan tawa sesekali terlontar dari mulutnya.
Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Sesekali pula, aku ikut canda tawa, seraya berharap bisa sedikit memahami apa yang dibicarakannya. Ah, mengapa Pak Profesor ini belum juga menyinggung isi SMS-ku sejak kemarin aku kirim?
Kualihkan pandangan mataku ke luar sana. Dengan latar awan yang cerah, kemegahan Tugu Monas cukup terlihat jelas. Sangat indah. Agaknya, kekagumanku mulai mengusik. Hingga ia bertanya tentang sesuatu.
"Peng, bagaimana tentang rencanamu itu?" tanya Profesor
Aku sempat tergagap mendengarnya.
"Sudah siap, Pak. Kemarin saya sudah kabarkan ke Bapak melalui SMS," jawabku agak heran.
"Waduh, maaf Peng. Mungkin SMS-mu belum masuk,"
"Kok, bisa ya, Pak.."
"Ya bisa, Peng. Ini hape-ku tergolong jadul. SMS yang masuk maksimal 100. Jadi harus ada yang dihapus dulu, biar SMS yang baru masuk,"
"Hahahahaha....."