Iya.... Tapi, kan pas bangun, Gus Dur selalu tahu apa yang diobrolin atau didiskusikan oleh orang lain. Ya, itu hebatnya Gus Dur. Aku mengingatnya, sampeyan ya begitu. Kalem, santun tapi cerdas. Hahahahahahahahahaha.....
Oh iya... silakan mas. Aku mulai menahan diri untuk melanjutkan ucapanku. Sesekali aku melihat jam tangan tua yang melingkar di tangan kiriku. Hmm... sudah seperempat jam lebih aku masih terdiam. Rupanya, dari tadi sampeyan mulai sibuk membaca dan membalas SMS di hapemu. Aku lebih banyak menunggu.
Ah, sampeyan juga mulai sering-sering berbicara melalui telepon. Aku melihatnya begitu serius, sambil berdiri, lalu selangkah demi selangkah menjauhiku. Sampeyan masih terlihat terus saja asyik bicara.
Aku lihat jam tanganku lagi. Hampir satu jam aku dibiarkan terdiam. Hmm.... sampeyan masih terlihat menelepon di balik kamar sana. Ah.. padahal aku masih ingin bicara banyak lho dengan sampeyan, mas. Hahahahahahahaha...
Nasib.. nasib..... Aku terima apa adanya.
Mataku sempat terpejam. Tentu, setelah aku habiskan separuh teh manis di hadapanku.
Lamat-lamat aku mendengar ketukan langkahmu. Ada suara lembaran kertas warna merah yang sampeyan letakkan di atas meja tamu. Blek.
Oh, iya. Maaf aku sampai ketiduran mas. Maksudnya, mas? Dalam hati, sebenarnya aku jelas mendengar pertanyaanmu. “Setelah dari sini, terus mau ke mana?” Ah, aku tahu maksudmu. Itu kan berarti sampeyan mengusirku cepat-cepat dengan cara yang sopan. Hahahahahahahahaha...
“Lha, tapi sejak kapan sampeyan menggunakan cara yang demikian?” kataku masih dalam hati yang terus dalam keheranan.
Blek. “Silakan diterima uang tidak seberapa ini. Barangkali bermanfaat” katamu.
Mataku melolot. Hampir melompat kegirangan. Belum pernah aku melihat sendiri tumpukan uang ratusan ribu diberikan untukku. Sekilas, aku kira-kira jumlahnya bisa puluhan juta rupiah. Aku masih terkaget-kaget. Sampeyan mengeluarkan lagi gepokan uang dari kantong plastik hitam. Kali ini senyummu mulai hilang. Blek. Blek.