Mohon tunggu...
Topek Dayat
Topek Dayat Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya sebagai mahasiswa uin

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia

15 Februari 2023   12:04 Diperbarui: 15 Februari 2023   12:08 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA

 

Pernikahan di Indonesia bukan hanya untuk seks, karena pernikahan sebenarnya adalah sesuatu yang sakral bagi setiap orang. Itulah mengapa ada yang namanya pencatatan nikah di Indonesia, hal ini harus dilakukan agar seluruh masyarakat di Indonesia menjadi akta nikah. Dilihat dari sejarahnya, nampaknya pencatatan perkawinan ini mengalami banyak perubahan pada setiap zamannya. Pada awalnya ada pengaturan ini yaitu dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Perkawinan, Perceraian dan Permukiman, undang-undang ini pertama kali berlaku di Jawa dan Madura pada tanggal 1 Februari 1947. Setelah adanya Undang-undang No. .ro. 32 Tahun 1954 itu hanya direalisasikan dimana-mana di Indonesia. Tahun 1958 ketika K.H. memenuhi jabatan Menteri Agama. Pak Ilyas ingin menyampaikan prioritas kepentingan umat Islam ke parlemen, karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, dalam sidang DPR, Sumarni dari Fraksi PNI berpendapat bahwa undang-undang perkawinan harus mencakup semua lapisan masyarakat tanpa membedakan agama. ras dan etnis tertentu. Akhirnya setelah banyak perdebatan, pada tanggal 2 Januari 1974, UU Perkawinan yang disahkan DPR disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Keputusan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, pencatatan bagi yang beragama Islam menjadi tanggung jawab Departemen Agama Islam Departemen Agama RI, sedangkan bagi yang non muslim Departemen Kebudayaan.

Mengingat tata cara dan tata cara perkawinan menurut hukum masing-masing agama, maka perkawinan harus dirayakan di hadapan Panitera Nikah dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Tak lama setelah akad nikah, kedua mempelai menandatangani akta nikah yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil. Setelah tanda tangan diberikan, pernikahan akan dicatat secara resmi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pencatatan perkawinan merupakan faktor yang sangat penting dalam sahnya perkawinan. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak warga negara untuk berkeluarga, selain karena perkawinan yang dicatatkan memberikan jaminan dan perlindungan serta kekuatan hukum bagi suami, istri dan anak, serta jaminan dan perlindungan hak-hak tertentu yang timbul dari perkawinan. termasuk hukum waris dll. Mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk agama Islam yang sangat berpengaruh terhadap perkawinan di Indonesia, dimana suatu perkawinan dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat agama tanpa perlu dilakukan pencatatan. Dalam praktiknya, hal ini menimbulkan masalah dalam kaitannya dengan status perkawinan, karena perkawinan di luar nikah adalah perkawinan yang tidak diakui yang tidak mempunyai kekuatan hukum dan perkawinan tersebut tidak berstatus perkawinan yang sah. Istri dan anak dalam perkawinan yang tidak tercatat tidak mendapat perlindungan hukum dari negara. 1). Dasar hukum pendaftaran perkawinan

Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 1). Pendaftaran bagi yang menikah menurut agama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Bagi umat Katolik, Kristen, Budha dan Hindu, pendaftaran dilakukan di Kantor Pendaftaran (KCS).

2). Akibat hukum jika tidak dicatatkan perkawinan. A). Perkawinan dianggap tidak sah b). Sekalipun perkawinan itu dilakukan atas dasar agama dan kepercayaan, perkawinan Anda dianggap tidak sah di mata negara jika tidak dicatatkan di kantor agama atau kantor catatan sipil. C). Anak mempunyai hubungan keperdataan hanya dengan ibu dan keluarga ibu; istri atau anak-anak yang lahir dari perkawinan itu tidak berhak mendapat nafkah atau warisan dari ayahnya sebagai akibat perkawinan yang tidak dicatatkan. Pencatatan perkawinan memiliki makna filosofis dalam kaitannya dengan komitmen dan tanggung jawab pasangan suami istri yang ingin mewujudkan hubungan keluarga yang sah menurut hukum dan agama. Filosofi ini melihat pernikahan sebagai ikatan yang dijalani oleh dua orang yang memiliki prinsip dan nilai yang sama. Secara sosiologis, pencatatan perkawinan mencerminkan adanya suatu kontrak sosial dalam masyarakat. Akta nikah juga menunjukkan bahwa pasangan tidak hanya menunjukkan cinta dan kasih sayang satu sama lain, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk implementasi nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dari segi agama, pencatatan perkawinan merupakan ritual yang dipercaya dapat menjamin keberkahan dan kelangsungan hubungan di hadapan Tuhan. Pencatatan perkawinan merupakan ikatan suci yang dihayati oleh pasangan yang menganut ajaran agama masing-masing. Di sisi lain, dari segi hukum pencatatan perkawinan mempunyai arti yang sangat penting, karena berkaitan dengan sahnya status hukum pasangan tersebut. Dalam hal ini, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menjamin hak dan kewajiban suami istri serta perlindungan hukum terhadap hubungan tersebut. Secara umum pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial, keagamaan dan hukum. Pencatatan perkawinan adalah pengakuan resmi atas hubungan keluarga yang sah dan menunjukkan tanggung jawab kepada pasangan, keluarga dan masyarakat.

Perkawinan yang tidak dicatatkan menurut hukum negara mempunyai akibat hukum. Akibat perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah ketidakpastian hukum antara laki-laki dan perempuan, pewarisan yang tidak jelas. Bagi masyarakat hukum adat yang beroperasi sebagai aparatur sipil negara (ASN), ada konsekuensi tambahan, yaitu tunjangan anak dan suami-istri tidak tersedia. Perkawinan yang tidak tercatat juga sangat merugikan perempuan karena perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, perempuan tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suaminya meninggal dunia, perempuan tidak berhak atas harta bersama jika terjadi perceraian karena perkawinan tersebut tidak pernah sah.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan dapat memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para pihak yang menikah, yang memberikan kekuatan bukti otentik perkawinan, dan para pihak dapat membela perkawinan tersebut terhadap siapapun. dan dihadapan hukum. Selanjutnya, pencatatan perkawinan merupakan upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat demi ketertiban dan keadilan  

Kelompok 3

Alya Mustika Arafah _212121110

Asy syifak Qolbi Maghfur_212121086

Salsabila OktaviaAamani_212121089

Asrofal Ulum_212121107

Kharisma Putri Wisyamdewi_212121101

Dian Ngafiyatul Karimah_212121081

Muhammad Taufiq Hidayat_212121076

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun