Mohon tunggu...
Topaz Aditia
Topaz Aditia Mohon Tunggu... Musisi - Bohemian Thinker

Pemetik Dawai Dawai Lucu | Petualang Roda Dua | Peselancar Literatur | Arsenal FC

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Stoikisme 2.0: Jebakan Paham Latah Sesaat

5 Agustus 2023   11:30 Diperbarui: 5 Agustus 2023   11:32 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stoikisme adalah sebuah aliran filsafat kuno yang lahir di Athena pada abad ke-3 sebelum Masehi. Meskipun berusia ribuan tahun, prinsip-prinsip stoikisme tetap relevan dalam konteks kehidupan manusia modern. Namun, terkadang kita dapat terjebak dalam pemahaman yang bersifat latah sesaat terhadap ajaran stoikisme, yang pada akhirnya dapat menghalangi pola pikir dan tujuan hidup dari diri kita sendiri.

Kaidah

Pada intinya, stoikisme mengajarkan tentang kontrol diri, penerimaan terhadap hal-hal yang tidak dapat diubah, dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Ajaran ini memiliki potensi besar untuk membantu kita mengatasi stres, kecemasan, dan tekanan dalam hidup. Namun, dalam realitas yang serba cepat dan penuh distraksi seperti sekarang, konsep-konsep tersebut seringkali disalahartikan.

Misinterpretasi
Seringkali, orang terjebak dalam pemahaman yang keliru bahwa stoikisme mengharuskan kita untuk benar-benar tidak merasakan emosi negatif atau mengabaikan perasaan kita. Ini adalah jebakan paham latah sesaat yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental kita. Sebagai manusia, kita memiliki emosi yang alami, dan stoikisme sebenarnya mengajarkan cara merespons emosi tersebut dengan bijak, bukan menghindarinya. Selain itu, kesalahan interpretasi lain yang sering terjadi adalah menganggap bahwa kita harus mengabaikan sepenuhnya ambisi dan tujuan kita. Stoikisme sebenarnya mendorong kita untuk memiliki tujuan dan berusaha mencapainya, tetapi dengan menjaga sikap yang realistis dan penerimaan terhadap hasil akhir yang mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan.

Kelatahan Netizen
Di tengah lautan informasi digital, tidaklah mengherankan jika ajaran stoikisme, sebuah filsafat kuno yang menawarkan panduan hidup yang bijak, sering kali jatuh ke tangan para netizen yang "latah". Fenomena ini adalah contoh sempurna bagaimana paham yang mendalam dapat disederhanakan menjadi tren sebentar yang terlihat menarik. Netizen yang latah dengan stoikisme seringkali berperilaku seperti "rookie" atau "newbie" dalam permainan yang belum sepenuhnya mereka pahami aturannya. Mereka merasa bahwa dengan mengutip kata-kata bijak seperti "terima apa adanya" atau "fokus pada hal yang dapat anda kendalikan," mereka secara ajaib menguasai kebijaksanaan sejati. Namun, tidak jarang mereka hanya menyebutkan frasa-frasa tersebut tanpa benar-benar merenunginya atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Mengamati para netizen yang latah dengan stoikisme adalah seperti melihat seseorang berdiri di depan lukisan klasik yang indah, namun hanya melihat permukaannya tanpa mendalami pesan yang ingin disampaikan oleh sang seniman. Mereka mungkin merasa terdengar bijak dengan mengutip ajaran-ajaran dan bahkan menyebutkan nama-nama filsuf stoik terkenal, tetapi kurangnya pemahaman mendalam hanya membuat ajaran tersebut hampa makna.

...Dan Lahirlah Para Pujangga Caption Itu
Fenomena penggunaan kutipan-kutipan dari filsuf terkenal oleh para netizen telah menjadi perbincangan hangat dalam era digital ini. Meskipun pada pandangan pertama terlihat seperti upaya untuk menunjukkan kecerdasan, seringkali praktik ini dapat menghasilkan absurditas makna dalam pesan-pesan yang coba mereka sampaikan. Pemanfaatan kutipan para filsuf seharusnya mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap konsep yang diutarakan. Namun, terlalu sering kita menemui penggunaan kutipan tanpa pemahaman yang memadai, hanya untuk mencari perhatian atau kesan intelektual. Hal ini menciptakan kesenjangan antara pengetahuan sejati dan upaya untuk terlihat pintar di mata orang lain.

Seseorang seharusnya memiliki pemahaman yang cukup tentang filsafat dan konteks di balik kutipan tersebut sebelum menggunakannya. Mengutip tanpa konteks dapat menyebabkan interpretasi yang salah dan merusak pesan asli yang ingin disampaikan oleh para filsuf tersebut.

Kedangkalan Pemahaman
Terkadang, ada netizen yang menggambarkan diri mereka sebagai "stoisisme sejati" ketika mereka dengan bangga mengatakan bahwa mereka tidak terpengaruh oleh emosi apa pun. Mereka merasa memiliki kendali penuh atas pikiran dan perasaan mereka, seperti robot tanpa perasaan. Namun, ini adalah interpretasi yang sangat dangkal. Stoikisme sebenarnya mengajarkan tentang pemahaman, penerimaan, dan pengelolaan emosi, bukan penghentian emosi itu sendiri.

Duduk, Diam, Dan...Belajar
Syahdan, maka dalam situasi ini para netizen dan kita semua mungkin perlu "secangkir teh stoik" untuk merenungkan sejenak tentang seberapa dalam kita benar-benar memahami konsep ini atau hanya mengikuti tren tanpa substansi. Mungkin akan lebih bijak jika kita benar-benar meluangkan waktu untuk belajar dan mengaplikasikan ajaran stoikisme dengan serius, daripada sekadar mencari sensasi sesaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun