Koran Belanda Het Parool edisi 19 Juli 1958 menulis, "Baru-baru ini terjadi ketegangan dalam negeri di Indonesia. Kisah petualangan raja dan ratu palsu dari Sumatra bagian Selatan yang menipu Presiden Sukarno."
Palembang, 8 Agustus 1957, seperti diberitakan oleh Het Parool, kemunculan pasangan suami - istri, Idrus dan Markonah. Keduanya mengaku sebagai raja dan ratu dari suku Anak Dalam di wilayah Lampung.
Bermodal surat rekomendasi dari pemerintah Sumatra Selatan, beberapa bulan kemudian, pada 10 Maret 1958, Idrus, Markonah dan pengikutnya berangkat ke Jakarta. Koran Belanda lain, Leeuwarder Courant dan Nieuwsblad van het Noorden memberitakan bahwa Idrus mengaku sebagai raja suku Anak Dalam yang berada di pedalaman Jambi. Di Sumatra belahan utara kala itu sedang bergolak gerakan separatis yang menamakan diri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Mereka lantas menemui sejumlah pejabat dengan mengaku sedang melakukan muhibah ke sejumlah daerah di tanah air. Dengan dandanan yang meyakinkan, para pejabat pun menyambut dengan tangan terbuka atas kunjungan Raja Idrus dan sang permaisuri.
Disambut Bung Karno
Di ibu kota, Idrus dan Markonah diterima oleh Presiden Sukarno di Istana Negara. Mereka berencana berkeliling ke beberapa kota di pulau Jawa. Sukarno pun bersedia memfasilitasinya. Harapannya agar Idrus bisa melihat dan belajar perkembangan kota-kota. Kala itu Bung Karno memang sedang membutuhkan dukungan rakyat untuk membebaskan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda. Di istana, tentu saja keduanya mendapat sambutan dan dijamu layaknya tamu terhormat. Tidak ketinggalan mereka juga diberi uang untuk misi membantu pembebasan Irian Barat. Bahkan diberitakan mereka menginap dan makan gratis di hotel selama berminggu-minggu.
Raja Idrus digambarkan sebagai sosok pria berusia sekitar 42 tahun dengan kostum ala militer. Sedangkan penampilan Ratu Markonah juga tak kalah menarik perhatian. Markonah yang menjabat sebagai permaisuri Raja Idrus selalu memakai kaca mata hitam saat tampil di hadapan publik.
Pertemuan Idrus dan Markonah dengan Bung Karno pun diberitakan media massa waktu itu. Koran Marhaen dan Duta Masyarakat waktu itu memasang foto pertemuan Markonah dengan Bung Karno. Di foto itu, Markonah dengan kaca mata hitamnya bersama sang suami berpose bersama Bung Karno. Di keterangan foto disebutkan, "Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu pembebasan Irian Barat".
Strategi Politik Sukarno?
Tentunya, sulit dimengerti mengapa Bung Karno bisa mudah terperdaya oleh tipuan semacam itu. Mengingat Sukarno dikelilingi oleh banyak perwira militer, termasuk dari CPM(Corps Polisi Militer), tentu mudah baginya dan para pengawal istana untuk memeriksa latar belakang pasangan ini. Karena bagaimana pun, mereka muncul di saat era pergolakan daerah di luar Jawa. Apalagi Idrus mengaku dari daerah yang dekat dengan pergolakan PRRI. Meski sulit menemukan bukti, bisa jadi Sukarno telah mengetahui bualan Idrus dan memanfaatkannya untuk memperburuk citra PRRI. Dengan kata lain, Sukarno menggunakan Idrus untuk berkampanye melawan PRRI.
Waktu itu tidak banyak yang mengetahui bahwa di daerah Kubu maupun Anak Dalam tidak terdapat raja. Jabatan tradisional tertinggi di sana adalah kepala suku.
Di Jakarta, seperti dilaporkan Het Parool, Wali Kota Sudiro mengajak pasangan ini makan malam bersama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta. Idrus bercerita bahwa dirinya terbiasa makan daging mentah, terutama ular. Makan daging ular dan meminum darahnya membuat tubuhnya segar bugar. Harian Belanda Leeuwarder Courant pada 7 April 1959 menulis, "Dalam perjalanan itu Idrus mengaku memiliki 18 orang istri. Selain itu, dia mengklaim mempunyai istana besar di salah satu gua raksasa. Di dalamnya terdapat mumi dari 40 orang Jepang dan Belanda". Â Dalam perjalanan ke beberapa kota, mereka berdua dikawal voorijder layaknya pejabat.