Bau "Ketek" Dan Pengampunan "Dosa"Â
Percaya atau tidak, orang yang memiliki masalah bau badan seolah mendapat dispensasi khusus di kehidupan sosial. Sebagai contoh, ketika kita sedang berkumpul bersama keluarga atau teman-teman terdekat. Lalu, tiba-tiba tercium semilir bau kentut. Pada umumnya yang terjadi adalah, ada yang bereaksi spontan dengan kalimat seperti, "Ugh, siapa yang kentut nih?" (sambil menutup hidung atau mengibas-ngibaskan tangan). Insiden tersebut biasanya dilanjutkan dengan gurauan dan gelak tawa. Namun, apa yang terjadi bila yang tercium adalah "bau ketek"? Kita cenderung memilih diam sambil berpura-pura keadaan baik-baik saja (kadang menutup hidung pun tidak). Tanpa peduli untuk mempertanyakan apalagi melakukan investigasi lebih lanjut.
Padahal secara logika, bau kentut itu memiliki sifat sementara (temporer). Sedangkan bau badan (baca: ketiak) memiliki sifat "semi-permanen". Mengikuti jejak kehadiran sang "pesakitan" dalam ruang dan waktu, bagai kutukan mumi firaun. Uniknya lagi, terkadang sang oknum tidak menyadari bahwa ketiaknya adalah epicentrum dari bencana hormonal. Lalu, mengapa kita cenderung permisif terhadap orang-orang yang ketiaknya bermasalah?
"Bau ketiak terjadi ketika bakteri pada kulit ketiak bercampur dengan keringat yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat. Sebenarnya, keringat bisa dihasilkan hampir di seluruh tubuh. Akan tetapi, keringat yang dihasilkan di ketiak mengandung lebih banyak protein dan lemak". (Alodokter, 6/6/2022)
Misteri Bau Ketiak Dalam Catatan Sejarah
Salah satu yang paling mengherankan adalah, sampai tulisan ini diturunkan, saya belum pernah berhasil menemukan catatan sejarah yang membahas hal ini dalam berbagai sudut pandang kehidupan sosial. Baik berupa folklore, hikayat, artifak, sampai literatur, tidak pernah ada satupun pembahasan spesifik tentang manusia dan bau ketiaknya. Timbul pertanyaan, apakah leluhur kita dari jaman nabi sampai periode kejayaan kerajaan Majapahit tidak ada yang memiliki masalah dengan bau badan? Apakah bau tersebut sebenarnya sudah ada namun manusia saat itu belum memiliki kemampuan untuk mendeskripsikannya? Atau jangan-jangan, memang pada dasarnya sifat permisif kita merupakan warisan dari para pendahulu?.Â
Sebuah rumor pernah menyebutkan tentang Muhammad Ali, sang petinju legendaris, dan strategi uniknya menjelang pertandingan. Ali dikabarkan memiliki kebiasaan makan daging kambing sebanyak-banyaknya sebelum bertanding. Tujuannya adalah membuat badannya hangat sehingga mengeluarkan bau tak sedap untuk membuyarkan konsentrasi lawan tandingnya. Sekali lagi, rumor ini masih dipertanyakan keabsahannya.Â
Ketiak: Senjata Pemusnah Massal
Igor (bukan nama sebenarnya), seorang kawan lama. Selain dikenal memiliki karakter bebal dan keras kepala, Igor juga dikenal sebagai seseorang yang memiliki sepasang ketiak penghasil organik dari aroma-aroma toxic. Bau-bau seperti belerang beracun, kambing kurban, sampah kering, sampai nangka busuk(walau terkadang juga bau karet ban terbakar), semua itu seolah menjadi takdir bawaan lahiriah. Dalam lingkaran pertemanan kami, awalnya tidak ada yang mengetahui pasti apakah dia sendiri sadar bahwa dia memiliki masalah dengan bau badan. Entah kenapa, tidak ada satupun dari kami kawan-kawannya yang berinisiatif untuk menegurnya secara baik-baik (termasuk saya). Mungkin karena malas bicara, sungkan, atau sekadar tak ingin menyinggung perasaannya. Pada akhirnya, kami memilih untuk menjadikan dia bahan ghibah bersifat guyonan ketika orangnya tidak ada.Â
Sampai suatu ketika di hari Minggu yang (seharusnya) indah. Igor mampir tanpa pemberitahuan ke rumah saya. Siang itu saya sedang asyik bermain game di depan layar PC. Kemudian dia masuk dan menyapa. Tak lama kemudian, dia membuka kaosnya dan dikaitkan ke gantungan baju di bagian atas pintu. Konsentrasi saya seketika langsung buyar karena aroma keras yang datang dari ketiaknya. Baunya sulit dideskripsikan dan menyebar secara sporadis bagaikan serangan senjata biologis di siang bolong.
"Heh, pake lagi tuh baju. Cepet!", hardik saya secara tegas.Â