TOPATI YOGYAKARTA [caption id="" align="aligncenter" width="183" caption="Buku JB Lebang"][/caption] Dodeng adalah nama yang sangat populer dalam Cerita Tangisan Lebonna, suatu Cerita Rakyat Toraja, yang dalam tradisi tutur Toraja di sebut Ulelean Pare. Kisah ini merupakan salah satu kisah, yang dianggap paling menarik diantara kisah-kisah rakyat dalam Masyarakat Toraja. Kisah ini menjadi tradisi lisan populer yang disampaikan secara turun-temurun oleh Tetuah Toraja, yang kemudian di bukukan oleh Pdt. Junus Bunga Lebang. Jika JB Lebang, serta beberapa Penulis/Penutur lain, menuturkan kisah ini dari Prespektif Cinta Sejati Paerengan dan Lebonna, maka tulisan ini, memberi Prespektif yang berbeda, dan lebih memaparkan tentang sosok Dodeng, serta kemudian menghidupkan lakon Dodeng sebagai cerminan untuk menemukenali watak Politisi, dan segala modus-modusnya dalam Panggung Politik Indonesia Adapun kisah Tangisan Lebonna ini, berawal dari adanya persaingan lamaran antara dua Kesatria Tangguh, untuk mendapatkan hati gadis tercantik di seantero Bumi Toraja pada waktu itu. Gadis ini sangat menggambarkan ciri Gadis Anggun Toraja: Jenius, Cantik, Manis, Setia, Penyayang dan Pujaan. Sederhananya gadis ini dapat menjadi alasan pecahnya perang antara Para Kesatria Terhormat. Gadis ini bernama Lebonna sedangkan kedua pemimpin tersebut, satunya bernama Paerengan dan satunya lagi bernama Dodeng. Alkisah, pada awalnya Dodeng lah yang melakukan lamaran, karena Dodeng kesatria paling senior di wilayahnya. Dia selanjutnya melamar dengan membawa sepu’ (tas orang Toraja) yang berisi pinang, setelah menunggu berapa lama ternyata pinang Dodeng tak tersentuh oleh Sang Gadis Pujaan. Tentu ini pertanda keengganan untuk menerima lamaran. Mengetahui lamarannya tidak di terima, maka Dodeng menyakini dalam hati, bahwa mungkin Lebonna belum siap untuk membina rumah tangga, karena tidak akan ada pria lain yang secara historis mampu mengalahkan atau bahkan menyaingi kehebatan dirinya. Tapi sungguh di luar dugaan, hitung-hitungan Dodeng meleset….!!! ternyata diam-diam setelah lamaran Dodeng di tolak, datanglah Paerengan dengan sepu’ pinangnya untuk meminang Gadis Anggun ini. Paerengan yang dikenal sebagai kesatria ganteng, dan punya citra yang baik, ternyata mampu meluluhkan hati Sang Lebonna. Pinangan diterima, pesta pernikahan pun dilangsungkan secara meriah, semua rakyat bersuka cita dan bergembira akan pernikahan tersebut. Bahkan janji suci “Sehidup, Semati dalam Cinta Abadi” di ucapkan oleh kedua mempelai. [caption id="" align="alignright" width="240" caption="Sumber: 99partyorganizer Sulsel/Toraja"]
Sumber: 99Wedding Organizer
[/caption] Pernikahan yang pada awalnya hanya urusan pribadi, berubah menjadi urusan semua rakyat, karena rakyat yang selama ini secara tidak langsung membagi diri dalam rivalitas dingin antara Paerengan dan Dodeng, pada akhirnya larut bersatu dengan kebahagiaan Paerengan dan Lebonna. Rakyat pun terdorong untuk berbulan madu dengan menentukan pilihan Kepemimpinan Tunggal pada Paerengan. Sehingga terjadilah konsensus rakyat untuk menetapkan Paerengan sebagai pemimpin tertinggi mereka dan Lebonna sebagai Permaisuri mereka. Tinggal satu matahari mereka!!!! Ternyata tidak sampai di situ, pernikahan yang bahagia tersebut, hanya memberikan luka yang dalam, bagi seorang Dodeng. Paerengan di anggap Dodeng telah menggunting dalam lipatan, karena Paerengan di anggap Dodeng tidak berterus terang, dan tidak secara awal mengibarkan bendera untuk persaingan. Dodeng kemudiaan menganggap bahwa itu tindakan yang sangat tidak kesatria. Dendam dan Ego meliputi Dodeng. Berangkat dari pertimbangan tersebut, maka Dodeng berkesimpulan bahwa dia mempunyai alasan yang sah akan egonya tersebut. Adapun modus operandi dari Ego Si Dodeng, adalah menggunakan janji suci sehidup semati Paerengan dan Lebonna sebagai boomerang untuk menyingkirkan Paerengan serta menghapus segala karya kepemimpinannya, dimana tumbal darah Lebonna adalah jalan untuk mencapai itu. Dodeng yang awalnya dikenal sebagai Pemimpin yang penuh cinta, rasional dan bijaksana, tinggal menjadi seorang pemimpin yang kalah oleh Egonya. Pun Ego inilah yang melegalkan Dodeng, untuk rela memberi penderitaan dan ribuan tangisan pada seorang gadis pujaan, yang dulunya sungguh amat di cintai Dodeng. Ego mengalahkan cinta sang Dodeng. Waktu itu, wilayah Dodeng mendapatkan serangan dari pihak luar, dan bukannya malah bahu-membahu menghalau musuh, serta bersatu dalam Nasionalisme demi Kepentingan Kedaulatan dan Rakyat mereka, Dodeng malah menyusun muslihat yang sistematis untuk menjatuhkan Paerengan. Dodeng mengabarkan berita bohong, akan kematian Paerengan kepada Lebonna. Dodeng pun mengirim utusan secara berulang-ulang, untuk melaporkan kematian bohong Paerengan tersebut kepada Lebonna. Sang Ratu tentunya tak percaya, tapi karena berita ini di sampaikan secara masif oleh utusan yang dikirim oleh Dodeng, terutama ketika utusan terahir yang dikirim Dodeng, adalah Orangnya Paerengan sendiri (sudah di beli Dodeng), maka pada akhirnya Lebonna terdesak percaya akan pesan tragis itu. Mendengar pesan tragis yang langsung dibawah oleh Orangnya Paerengan sendiri, sontak Lebonna jatuh terkulai. Setelahnya gadis anggun itu larut dalam kesedihan yang dalam. Ratap tangis memenuhi jiwa, hati dan hari-harinya. Kecantikannya tak lagi segar. Pun suasana kebatinannya pada saat itu hanyalah kepiluhan. Kesedihan yang sungguh piluh inilah, yang membawanya dalam kematian yang tragis. Dalam piluh teringat Lebonna akan janji suci sehidup sematinya dengan Paerengan. Muslihat bohong dari si Dodeng sukses. Seluruh Bumi Toraja pada saat itu berkabung, Sang Ratu setia menemani Sang Raja dalam hidup maupun mati. Sedikit harapan yang coba di rajut rakyat: “Kelak di Puya (Nirwana) Mereka akan Bertemu”. Keyakinan penghiburan yang terpatri dalam jiwa rakyat. Selalu ada harapan!!! Namun sungguh di luar dugaan rakyat, duka yang sudah dibalut oleh harapan, sekonyong-konyong terkoyak oleh kepulangan Paerengan dari medan tempur dengan kemenangan. Rakyat tersentak tak percaya, seolah ini kemenangan yang tidak di inginkan. Hati rakyat sekali lagi hancur, mereka hening terdiam penuh penyesalan. Dosa apa yang terjadi!!! Paerengan yang tidak mendapatkan sambutan, langsung menuju rumah Tongkonannya, mencari istri yang di cintainya, namun tentu tak di dapati istrinya. Paerengan akhirnya tau, istrinya telah tiada. Paerengan pun langsung jatuh tak berdaya. Kesatria Perang tanpa tanding, yang konon tidak dapat dirubuhkan oleh seribu musuh sekalipun, luluh lantah oleh kabar kematian istrinya. Larutlah Paerengan dalam duka, tiap hari dia berkabung, dia sudah tidak punya semangat hidup lagi, untuk makan saja dia sudah susah, apalagi untuk menjalankan pemerintahan dan memimpin rakyatnya. Pun selemah-lemahnya iman kesatria, tapi sungguh Paerengan sudah tidak berdaya sama sekali, dia sudah kalah oleh kesedihan. Gonjang-ganjinglah rakyat, mereka butuh Pemimpinnya, Pemimpin yang bisa bangkit dari masalah, memberikan respon dengan cepat dan tegas. Rakyat yang sudah jenuh menunggu respon dari Paerengan, mulai ragu akan kepemimpinan Paerengan, dan pada akhirnya dalam permusyawaratan rakyat, Paerengan serta kelompoknya kalah dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis. Pemenangnya adalah Dodeng dan kelompoknya.Dodeng di angkat menjadi pemimpin. Di awal kepemimpinannya, Dodeng masih melihat Paerengan dan struktur pemerintahan peninggalan Paerengan, sebagai perwujudan dari kegagalannya, sehingga tentu harus di singkirkan. Ego Dodeng masih berlanjut. Muslihat pun di buat, dan modusnya adalah serangan psikologis. Diperintahkannya orang-orangnya untuk membuat berita bohong, dan selanjutnya dicarinyalah sahabat Paerengan, dan sekali lagi penyuapan terjadilah. Sahabat Paerengan itu akhirnya menguatkan berita bohong yang sudah direncanakan tersebut. “Arwah Lebonna selalu menangis menjerit menunggu Paerengan, mewujudkan janji sehidup semati dengan Lebonna”. Berita yang di kabarkan secara masif itu sukses menggoyahkan Paerengan. Paerengan akhirnya mewujudkan janjinya. Maka berkuasalah Dodeng dengan jumawahnya. Segala tatanan, orang-orang yang tidak mendukung dia, dan karya Paerengan di hapusnya. Dodeng akhirnya sukses secara paripurna melampiaskan Egonya. Adapun, cerita tersebut di atas menggambarkan kisah tentang bagaimana Ego seorang Pemimpin mampu meracuni rasa cinta, rasionalitas dan kebijaksanaannya. Ego adalah suatu hal yang kadang wajar, dan memartabatkan seorang Pemimpin, akan tetapi dalam cerita ini, Ego Dodeng adalah suatu bentuk kemungkaran. Jika Lebonna menjadi permisalan rakyat, dan persaingan dua sosok kesatria itu sebagai permisalan persaingan Para Pemimpin, maka lakon seperti Dodeng menjadi jawaban permisalan untuk menggambarkan bahwa ego ternyata dapat menjadi pendorong Seorang Pemimpin menghalalkan berbagai cara dalam mengambil langkah dan kebijakan, meski harus bertaruh dengan kepentingan rakyat dan kesatuan nasional (Pokok e, Ego Dodeng dulu Bos). Sedangkan Politisi yang mengikuti dan patuh pada ego seperti ini, bisalah di persamakan sebagai lakon yang memainkan peran sebagai orang-orangya Dodeng. [caption id="" align="alignleft" width="198" caption="Sumber: jakaselimut.blogspot.com"]
Sumber: http://jakaselimut.blogspot.com
[/caption]
Seolah menjadi cerminan, maka lakon Dodeng dapat menjadi bentuk simbolik dari perilaku politik Para Politisi kita. Pun Dodengisme dapat menjadi kritik yang dilekatkan pada tindakan-tindakan politisi yang tetap memelihara ego ala Dodeng. Lalu “Kepemimpinan Serupa Dodeng” dapat menjadi kalimat yang cocok di pakai secara luas, untuk menemukenali siapa dan apa praktek-praktek kepemimpinan dari seorang Politisi, yang lakunya seperti Dodeng. Kepemimpinan Serupa Dodeng modusnya bermacam-macam. Menggunakan muslihat jahat untuk menjatuhkan, serta membangun opini-opini secara masif untuk mempengaruhi publik. Aksi-aksi yang menyertai modusnya pun tak jauh berbeda dari Si Dodeng, yaitu, menjadi malaikat sesaat bagi rakyat, mengijon orang-orang yang murahan, mengatur komposisi kekuasaan hanya orang-orang suruhannya, dan bukan membangun budaya kompetitif dari segi kinerja, transaksional dalam setiap keputusan, bahkan memaksakan keputusan-keputusan yang tidak disenangi rakyat. Bisa dilihat dari berita-berita yang menghiasi media dan praktek-praktek penguasa kita dari pusat sampai daerah. Di situ ada kisah tentang Ego yang sungguh serupa lakon Dodeng dan lakon hamba-hambanya Dodeng. Kepemimpinan serupa Dodeng seakan menjadi pesan yang disampaikan Cendekiawan Toraja berabad-abad yang lalu, mengenai gambaran watak dan praktek-praktek kepemimpinan di masa itu, dan kemudian menyajikannya dalam cerita rakyat dengan Lakon seperti Dodeng. Pesan ini sudah sangat lampau sekali, tapi ternyata watak lampau sekali seperti ini masih dimiliki oleh Para Penguasa sekarang. Dengan tetap berwatak dan berlaku lampau seperti itu, maka pantaslah mereka ini dicitrakan sebagai ahli waris Dodeng atau Kaum Dodengisme. Penguasa dengan Ego Dodengismenya, dapat menjadikan kepemimpinan, hanya lah sebagai ajang pertarungan Ego, sedangkan rakyat hanya sebagai korban, dan sekali-kali menjadi piala pertarungan dari Ego mereka. Lalu teringat kita akan pesan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah, karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Seperti inikah…??? [caption id="" align="aligncenter" width="272" caption="Sumber: akini.com"]
[/caption] Yogyakarta, 12 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Politik Selengkapnya