Setiap mendaki gunung, saya menemukan kegembiraan yang lebih karena saya mampu membaca bahkan menertawakan setiap ambisi terhadap kebahagiaan dan sekaligus menghindari kecemasan yang berkelindan di dalam diri saya. Ambisi yang pastinya juga ada pada diri setiap orang. Sementara keduanya senantiasa bias di antara batas-batas yang tidak jelas. Kebahagiaan, di mana ia? Pada kejadian-kejadian, benda-benda, atau momen-momen semacam jatuh cinta? Semakin dipertanyakan keberadaanya semakin jauh jaraknya dari diri seseorang. Kecemasan karena tak ingin ada penderitaan adalah penderitaan.
Saat mendaki gunung, bagi saya bukan hanya tentang mendaki, melainkan tentang mengenal langkah, napas, dan bayangan sendiri di tengah semesta yang tidak begitu dikenal; bergerak dari dataran rendah menuju puncak, memberi saya kesempatan untuk memahami arti lelah dan gairah. Lelah karena tubuh pada dasarnya lebih berkehendak untuk rebah, sementara gairah adalah keinginan untuk terus menapak di jalanan menanjak, untuk sesuatu yang tidak selalu perlu jelas tujuannya selain sampai pada puncak. Di situlah, kebahagiaan dan kecemasan tiada. Keduanya lebur dalam hembusan angin di muka bebatuan, pada cuaca yang sesekali dibakar matahari dan sesekali dikepung hujan.
Tegur sapa dengan para pendaki yang lain merupakan suguhan yang tidak pernah hilang dari hidangan pendakian. Orang-orang asing yang seketika menjadi sangat akrab karena sama-sama dalam pendakian. Semua pendaki sejatinya sedang berguru kepada segala apa yang ada di gunung. Semua belajar tentang sopan santun dan cara mengucapkan terima kasih. Tentang memberikan hal baik yang dibawa kepada siapa pun. Segala apa yang ada di gunung memberi pelajaran tentang ketenangan walau terjebak di dalam situasi genting yang penuh ancaman.
Saya memaknai pendakian bukan semata aktivitas fisik yang terbatas pada jeda antara kata lelah dan istirahat. Pendakian adalah aktivitas batiniah yang dapat mempertemukan orang-orang yang khusu' dengan para guru yang memberi jalan bagi batin untuk menemui pengalaman-pengalaman tak terbayangkan. Misal bagaimana seorang pendaki menemukan guru dari aliran air; gejolak dan riaknya, atau ketika embun menguap dari daun-daun saat cahaya matahari perlahan turun.
Mendaki gunung bukan tentang kegandrungan pada eksistensi, mendaku diri dengan dada membusung karena telah sampai pada puncak-puncak paling tinggi. Mendaki bukan hanya tentang seberapa tinggi gunung yang dapat ditaklukkan, melainkan tentang seberapa tinggi pemaknaan yang turut di dalam setiap detiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H