[caption id="attachment_79440" align="alignleft" width="300" caption="Andaikan Ciliwung seperti venice"][/caption] Melihat pembangunan proyek banjir kanal di DKI, yang terpikir oleh saya adalah mengapa harus proyek banjir kanal itu yang menjadi prioritas. Jika kita melihat kenyataannya, bukankah kali ciliwung yang mampat yang mengakibatkan banjir disepanjang aliran sungai yang makin sempit itu. Selama bertahun tahun, sungai ciliwung telah dijadikan tempat pembuangan sampah dan tinja, untuk mandi dan mencuci dan sekaligus tempat bermukim penduduk Jakarta Metropolitan. Kita bandingkan dengan kota vinice di italia yang menjadi kota kebanggaan italia, air itu menjadi sahabat yang menyenangkan sehingga mendatangkan para turis mancanegara. Namun melihat adanya proyek banjir kanal timur jakarta tersebut, sepertinya tujuan pembangunan proyek tersebut lebih didasarkan proyek dari pada efektifitasnya. Jika melihat skala proyek tersebut, mungkin akan mengandalkan APBN karena menjadi proyek skala nasional seperti halnya pembangunan jalan antar propinsi. [caption id="attachment_79447" align="alignright" width="300" caption="Indahnya Ciliwung"][/caption] Jika kita melihat lebih jauh system penganggaran, mestinya yang menjadi proyek skala nasional adalah normalisasi sungai ciliwung karena akan menyangkut antar propinsi. Prioritas pada pembangunan banjir kanal, jumlah yang digusur mungkin akan lebih banyak, demikian juga pembasan tanak memerlukan dana yang lebih besar dari pada membebaskan bantaran kali ciliwung. Lebih besar itu, mungkin menjadi lebih menarik ketimbang membenahi kali ciliwung yang tidak menjadi mega proyek. Inilah sebuah kemajuan dari pemberlakuan otonomi daerah, pembangunan menjadi terkotak2 masing pemerintah daerah. Berebut porsi APBN tetapi tidak ada koordinasi dengan pemerintah daerah lainnya. Indonesia telah berubah negara bagian2 yang masing2 daerah berlomba menunjukkan kepentingan masing2, tergantung lobby, tegantung kepandaian menyajikan alasan kelayakan. Akibatnya, terjadilah kesenjangan pembangunan antara daerah satu dengan dengan daerah lainnya. [caption id="attachment_79462" align="alignright" width="300" caption="Rumah Suku Bajo, Sultra"][/caption] Rumah diatas air milik suku Bajo, Sultra ini memang sebuah kebiasaan masyarakat itu yang hidup dari kekayaan laut. Tetapi rumah diatas air karena banjir, ini menimbulkan kesengsaraan. Inilah yang dialami oleh banyak masyarakat kota di Indonesia pada musim penghujan seperti sekarang. Banjir bukan hanya mengakibatkan kerugian harat benda, tetapi akan berakibat pada gangguan kesehatan. Segala macam kotoran dan sampah bercampur menjadi satu termasuk suber penyakit laksana sup. Barangkali kita harus menunggu lebih lama lagi melihat jakarta ibukota negara ini menjadi kota megapolitan, gedung2 pencakar langit itu untuk sementara masih mampu menutup kotornya jakarta. Situ2 yang sebetulnya dapat menjadikan keindahan banyak tidak terawat dan menjadi lahan subur tumbuhan eceng gondok. Penyempitan karena tidak terawat menjadi dalih buat pengurukan situ, seperti di pulo mas, situ itu masih ada, tetapi makin hari makin sempit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H