Mohon tunggu...
Tony
Tony Mohon Tunggu... Administrasi - Asal dari desa Wangon

Seneng dengerin musik seperti Slip Away dari Shakatak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Parantapa Murka (Prologue)

24 Agustus 2021   15:18 Diperbarui: 24 Agustus 2021   16:22 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

...

"TIDURLAH WAHAI PAHLAWANKU
TIDURLAH BERSAMA MALAIKAT MALAIKAT PELINDUNGMU
SAATNYA NANTI, PEDANGMU AKAN MELAYANG
MENGANTAR MUSUHMU KE GERBANG NERAKA"
- Ode terlarang kaum budak yang tinggal di Hutan Serigala

...

Berita yang terlewat oleh media massa:

Tanpa sepengetahuan Dewan, Presiden bersama petinggi Sat-81/Gultor menunjuk seorang dari Kementerian Dalam Negeri untuk menerbangkan 5 orang Polisi ke Sankt Augustin. Semua Bintara itu memiliki keahlian khusus yang sama: mampu mencabut nyawa hanya dengan selembar kartu bridge.

PENDAHULUAN

Desa Cipari masih terlelap, tetapi hangatnya mentari pagi sudah mulai terasa. Tampak embun berebut menetes dari rimbunnya pohon-pohon bambu. Ayam-ayam jantan berkokok saling bersahutan, sementara satwa-satwa yang lain sudah mulai berisik dengan caranya masing-masing.

Dengan memakai celana sebatas lutut yang biasa dipakai ayahnya bercocok tanam serta mengenakan kaos promosi produk sabun colek, Wahono bangun dari tidur lalu berdiri di depan pintu. Di depannya nampak sebuah kandang. Beberapa sapi ternak milik ayahnya yang siap dijual sudah terjaga. Wahono menarik napas dalam-dalam, bau kotoran sapi yang sudah mengering begitu nikmat bagi dia daripada aroma segelas cognac yang hampir setiap malam dia minum.        

"Kamu tidak perlu ke pasar," ayahnya datang dari belakang, "Biar nanti ibumu saja yang ke sana."

"Apa salahnya sekarang giliran si anak yang menyiapkan makanan?" jawab Wahono sambil memeluk ayahnya.  

"Baiklah kalau begitu," ayahnya balas memeluk, "Tetapi jangan harap kamu menemukan cenil di sana. Sekarang sudah tidak ada lagi yang menjual jajanan pasar itu."

Wahono tersenyum, dia melirik ke pergelangan tangannya. Patek Philippe menunjukan pukul lima pagi.                                                               

Wahono beranjak ke pasar dengan berjalan kaki. Lokasi pasar sebenarnya hanya sekitar satu kilometer, tetapi Wahono mengambil jalan memutar yang lebih jauh jaraknya.

Berjalan melewati tempat yang mulai padat penduduknya, Wahono mulai berkomentar sendiri yang suaranya direkam lewat Olympus DS-2500 yang diikatkan di pergelangan tangan kirinya. Bayangan masa kecil mulai muncul saat melewati tempat-tempat tertentu. 

Sebuah kios penjual pulsa misalnya, dulu adalah tempat biasa ayahnya melewatkan sore sambil bermain catur. Lapangan bola yang kini terlihat tidak terawat, dulu tempat itu menjadi tempat wajib Wahono bersama teman-temannya bermain petasan. Juga rumah Tugiman, Wahono hapal betul dimana dia harus mengintip saat dokter itu "memeriksa" setiap pasien wanita. Mantri cabul itu dulu benar-benar beruntung, perasaan iri akhirnya tercetus dan terekam juga.

Wahono menjumpai sebuah jembatan yang melintangi sungai dan masih tampak kokoh sampai sekarang. Dia tersenyum geli. Suatu malam diatas jembatan itu, seorang teman yang bernama Ambar mengungkapkan isi hatinya dan mengaku sudah lama jatuh cinta dengan Wahono. Di jembatan itu juga Wahono mendapat kesempatan untuk pertama kalinya memandang dada seorang gadis.

Wahono kembali memilih jalan putar yang sepi dan berkerikil dengan harapan muncul kembali kenangan peristiwa masa kecilnya.

Matahari pagi mulai tampak, tapi sinarnya terhalang oleh sekumpulan pohon pisang yang subur yang berbaris rapi sepanjang jalan. Ranting-ranting kering berserakan di tanah. Sawah yang mulai menguning terhampar luas sejauh mata dapat memandang.

Suara kertakan tiba-tiba terdengar, tapi bukan berasal dari kaki Wahono yang menginjak ranting kering di tanah. Wahono meraba lehernya, sebuah benda metal keluar dari jakun.                

Ya Tuhan! Wahono menyeringai kesakitan.

Sebilah belati menembus leher Wahono dengan keras dari belakang. Ingin rasanya Wahono memandang wajah yang melukainya, tetapi rasa sakit yang luar biasa tidak memungkinkan bagi dia untuk memutar kepalanya ke belakang.

Sambil sedikit membungkuk untuk mengurangi rasa sakitnya, tangan Wahono mencoba mencabut belati itu. Sia-sia, meski tidak bertulang tetapi material rapuh pembentuk jakun yang melindungi pita suara itu mengunci belati di dalam leher.

Wahono memutar perlahan belati hingga akhirnya berhasil dicabut. Darahnya keluar semakin deras. Dipandangnya pisau itu ditangan untuk beberapa saat.

Keparat! Bagaimana mungkin pisau ini muncul di tempat seperti ini? Dengan susah payah Wahono melihat ke belakang.

Kepalanya sudah tidak mampu untuk mendongak lagi agar dirinya bisa melihat wajah si pelaku. Wahono hanya bisa memandang badan yang kekar dan bertato di sekujur tangannya diam memandangi dirinya yang sedang sekarat. 

Saat kritis seperti itu, Wahono masih masih mampu untuk berpikir.                                                                                                                                         

Sudah tidak ada harapan, dengan lunglai Wahono sengaja menjatuhkan dirinya kesamping. Jatuh telungkup di bekas sungai yang sudah kering, Wahono menyeringai kesakitan untuk terakhir kalinya, darah segar keluar dari mulutnya.                                                               

Diam-diam digital voice recorder yang masih dalam posisi on didekatkan ke bibirnya. Lehernya yang rusak parah mustahil untuk dapat mengeluarkan suara. Wahono mencoba berjuang sebelum ajalnya tiba. Dia berusaha membasahi sedikit bibirnya yang sudah kelu dan pucat itu. Tak lama kemudian bibirnya mulai bergerak.

Kecapan-kecapan dari ujung-ujung bibir akhirnya mengeluarkan suara. Suara yang acak dan tidak beraturan: sandi Morse.

---Bersambung---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun