Mohon tunggu...
Tony
Tony Mohon Tunggu... Administrasi - Asal dari desa Wangon

Seneng dengerin musik seperti Slip Away dari Shakatak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Parantapa Murka (Prologue)

24 Agustus 2021   15:18 Diperbarui: 24 Agustus 2021   16:22 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Wahono tersenyum, dia melirik ke pergelangan tangannya. Patek Philippe menunjukan pukul lima pagi.                                                               

Wahono beranjak ke pasar dengan berjalan kaki. Lokasi pasar sebenarnya hanya sekitar satu kilometer, tetapi Wahono mengambil jalan memutar yang lebih jauh jaraknya.

Berjalan melewati tempat yang mulai padat penduduknya, Wahono mulai berkomentar sendiri yang suaranya direkam lewat Olympus DS-2500 yang diikatkan di pergelangan tangan kirinya. Bayangan masa kecil mulai muncul saat melewati tempat-tempat tertentu. 

Sebuah kios penjual pulsa misalnya, dulu adalah tempat biasa ayahnya melewatkan sore sambil bermain catur. Lapangan bola yang kini terlihat tidak terawat, dulu tempat itu menjadi tempat wajib Wahono bersama teman-temannya bermain petasan. Juga rumah Tugiman, Wahono hapal betul dimana dia harus mengintip saat dokter itu "memeriksa" setiap pasien wanita. Mantri cabul itu dulu benar-benar beruntung, perasaan iri akhirnya tercetus dan terekam juga.

Wahono menjumpai sebuah jembatan yang melintangi sungai dan masih tampak kokoh sampai sekarang. Dia tersenyum geli. Suatu malam diatas jembatan itu, seorang teman yang bernama Ambar mengungkapkan isi hatinya dan mengaku sudah lama jatuh cinta dengan Wahono. Di jembatan itu juga Wahono mendapat kesempatan untuk pertama kalinya memandang dada seorang gadis.

Wahono kembali memilih jalan putar yang sepi dan berkerikil dengan harapan muncul kembali kenangan peristiwa masa kecilnya.

Matahari pagi mulai tampak, tapi sinarnya terhalang oleh sekumpulan pohon pisang yang subur yang berbaris rapi sepanjang jalan. Ranting-ranting kering berserakan di tanah. Sawah yang mulai menguning terhampar luas sejauh mata dapat memandang.

Suara kertakan tiba-tiba terdengar, tapi bukan berasal dari kaki Wahono yang menginjak ranting kering di tanah. Wahono meraba lehernya, sebuah benda metal keluar dari jakun.                

Ya Tuhan! Wahono menyeringai kesakitan.

Sebilah belati menembus leher Wahono dengan keras dari belakang. Ingin rasanya Wahono memandang wajah yang melukainya, tetapi rasa sakit yang luar biasa tidak memungkinkan bagi dia untuk memutar kepalanya ke belakang.

Sambil sedikit membungkuk untuk mengurangi rasa sakitnya, tangan Wahono mencoba mencabut belati itu. Sia-sia, meski tidak bertulang tetapi material rapuh pembentuk jakun yang melindungi pita suara itu mengunci belati di dalam leher.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun