Sore ini ketua umum Partai Gerindra, Pak Prabowo Subianto, yang dalam perhelatan pilpres 2019 merupakan rivalnya presiden Jokowi, menjumpai pak presiden di  istana negara. Menariknya, perjumpaan ini dalam bingkai perkenalan menteri yang akan membantu pak presiden dalam kerja lima tahun ke depan.Â
Lebih menarik untuk disimak bahwa seusai perjumpaan dengan pak Presiden, Pak Prabowo menyampaikan kepada wartawan yang berada di istana kepresidenan, 'saya diminta membantu beliau di bidang pertahanan' (cf. CNBC Indonesia).Â
Pernyataan beliau sudah jelas menunjukan ke arah mana partai Gerindra akan berlabuh sekarang ini, setelah jelas-jelas beroposisi dengan partai pendukung Pak Jokowi dalam pesta demokrasi pilpres 2019.Â
Secara lebih spesifik, pak Prabowo bukan lagi lawan politiknya Pak Jokowi. Beliau segera menjadi rekan kerja pak Jokowi sebab beliau akan membantu pak presiden di bidang pertahanan.Â
Sekiranya demikian, berakhirlah sudah, yang namanya  posisi oposisi partai Gerindra. Babak baru tercipta, Partai Gerindra memilih berkoalisi dan meninggalkan yang namanya opisisi. Apakah hal ini demi kepentingan bangsa?
Tentu demikian adanya. Pak Jokowi memikirkan kepentingan bangsa, lawan harusnya jadi sahabat, bukannya musuh seusai pertarungan. Lawan jangan dibiarkan jadi penonton atau dibiarkan bermain di luar sistim.
Lawan punya kekuatan yang tentu dibutuhkan untuk mengamankan kepentingan bangsa. Pak Jokowi tidak mau menyia-nyiakan kekuatan lawan.Â
Bagaimana pun juga, adanya lawan dan strateginya di masa pertarungan telah menguji dan membuktikan Pak Jokowi dan timnya sebagai yang terbaik, maka tiada guna mempasifkan lawan seusai pertarungan. Bagi saya, ini kredit point Pak Jokowi yang patut diapresiasi. Bagaimana dengan pak Prabowo?Â
Sejalan dengan pertimbangan Pak Jokowi, saya yakin Pak Prabowo memilih untuk menjadi rekan kerja daripada menjadi oposisi demi kepentingan bangsa. Setiap pembaca bisa jadi tidak setuju dengan alasan ini, tapi saya memandang dari sudut pandang positif.Â
Demi kepentingan bangsa, Pak Prabowo yang telah bercita-cita menjadi presiden harus menerima kenyataan, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Saya membayangkan suatu pergulatan yang amat besar, bagaimana Pak Prabowo harus legowo (cita-citanya tidak tercapai dan cita-citanya itu dicapai lawan politiknya).Â
Belum cukup di situ, beliau harus bisa gembira menerima tawaran menjadi pembantu presiden dengan posisi sebagai salah satu menteri dalam kabinetnya. Ini Tidak gampang, tidak mudah dan sesuatu yang luar biasa. Patut dihargai pilihan politik Pak Prabowo dan partainya seusai pesta demokrasi.Â