Mohon tunggu...
Tony Firman
Tony Firman Mohon Tunggu... -

Apa ya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilih Pemula dan Kembalinya Para Sesepuh Orde Baru

5 April 2014   23:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:01 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2014 ini selain Piala Dunia ada hajatan besar berskala nasional yaitu Pemilu. Ada banyak kaum muda yang berstatus pemilih pemula yang menjadi harapan besar bagi partai politik yang berkompetisi untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dari para pemilih baru. Dari banyaknya partai yang sudah gencar berkampanye, sebut saja Gerindra, Hanura, Golkar dan PDIP sebagai partai besar yang bersaing sengit untuk mengusung calon Presiden masing-masing. Di sini pemilih disajikan dengan figur Prabowo, ARB, Wiranto dan Jokowi. Dari segi popularitas tentu saja Jokowi beberapa tahun ini mengungguli para calon yang lain, bahkan sejak pertama kemunculannya mengiringi. Namun siapa Prabowo, ARB dan Wiranto ? Prabowo umum dikenal berlatar belakang mantan Danjen Kopassus yang setelah dicopot sebagai pangkostrad lalu menjadi pengusaha sukses dan politisi, begitu juga dengan Wiranto yang umum dikenal sebagai mantan Panglima TNI yang kemudian menjadi politisi, dan ARB dikenal sebagai pengusaha juga pernah menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator Perekonomian. Mereka pernah bernaung dalam satu partai besar yang sama yaitu Golkar bersama dengan Surya Paloh yang dalam Pemilu 2014 ini mencalonkan diri sebagai presiden dari partai Nasdem.

Partai Golkar erat kaitannya dengan Orde Baru sebagaimana awal terbentuknya untuk menandingi kekuatan PKI dan Soekarno. Selanjutnya memasuki era Orde Baru setelah Soekarno dilengserkan, Golkar selalu menang dalam pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 berkat kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya dibawah rezim Soeharto. Pada Pemilu kali ini, sesepuh-sesepuh partai berlambang pohon beringin ini tampak turun kembali untuk mencoba meraih jabatan sebagai pemimpin negeri dan bahkan menghidupkan masa-masa kejayaan kepemimpinan otoriter Soeharto. Sasaran pemuda dengan status pemilih pemula menjadi daya tarik tersendiri karena mayoritas lahir di masa-masa akhir era Orde Baru, sehingga cerita dan sejarah nyata tentang bagaimana era Orde Baru menguasai sendi-sendi kehidupan yang terkekang oleh sebagian besar remaja dan pemuda masa kini tidak banyak yang tahu. ARB hingga saat ini masih memiliki masalah dengan lumpur lapindo yang menenggelamkan desa dan rumah di Sidoarjo, merenggut hak hidup masyarakat setempat. Dan berbagai masalah lainnya yang seharusnya dengan kekayaan ARB menjadi prioritas untuk diselesaikan karena menyangkut hak masyarkat yang tertimpa musibah. Wiranto sebagai panglima TNI menjadi sorotan tajam dan paling disalahkan atas meletusnya Tragedi Semanggi dan Trisakti 1998 karena dia membiarkan angkatan bersenjata menyerang demonstran dari kalangan mahasiswa hingga jatuh korban jiwa terkait tuntutan pelengseran Soeharto. Hingga saat ini tidak ada peradilan yang transparan atas jatuhnya korban jiwa dalam tragedi tersebut. Oleh pengadilan PBB, Wiranto terlibat dan harus bertanggung jawab atas kejahatan perang di Timor Timur yang menewaskan 1500 orang bersama dengan lima perwira TNI lainnya. Prabowo Subianto adalah Danjen Kopassus yang juga tersandung masalah HAM, terlibat dalam peristiwa pembantaian Kraras yang terjadi pada tahun 1983 di Timor Timur dan penculikan sejumlah aktivis pro-reformasi menjelang pemilu 1997 yang menginginkan berakhirnya rezim Soeharto. Ia memerintahkan Tim Mawar untuk menangkap sembilan aktivis dan menganggap itu tindakan yang benar dalam pandangan rezim Soeharto.Tim Mawar sudah dijebloskan ke penjara namun tidak untuk Prabowo yang belum diadili. Seiring berjalannya waktu, ditengah teriakan para keluarga korban dan aktivis untuk pelanggar HAM yang hanya dianggap sebagai masa lalu, mereka maju mencalonkan diri sebagai presiden dengan nafas Orde baru yang masih kental sebagaimana mereka berjaya di era tersebut. Dalam orasi kampanye terbuka ARB yang disiarkan oleh tvOne miliknya, bahkan secara nyata mengajak simpatisan yang hadir dan pemirsa di rumah untuk mengingat kembali masa emas Soeharto sambilmenceritakan kenikmatan era tersebut. Setidaknya seperti itulah perspektif ARB dan Golkar sendiri yang nyaman di era kepemimpinan Soeharto dan seakan menafikan titik puncak krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah ditambah ketidakpuasan masyarakat dan mahasiswa atas kepemimpinan Soeharto yang otoriter selama tiga dasawarsa tanpa henti.

13969634251671303131
13969634251671303131

Kandidat capres di luar era Orde Baru yang berpotensial adalah Jokowi, yang elektabilitasnya beberapa tahun ini cenderung stabil di atas. Dari rekam jejak jika dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya yang tersandung masalah berat, Jokowi tidak memiliki kasus pelanggaran HAM. Dia dikenal dengan gaya kepemimpinan, kebijakan, gaya berbahasa dan blusukannya yang sebelumnya belum pernah ada. Dengan partnernya Ahok yang “dobel minoritas” juga membawa pada bentuk merangkul semua golongan dalam bekerja. Dan seperti ini terbukti mampu mengambil hati para masyarakat pada umumnya hingga menarik media-media asing untuk meliput fenomena tersebut. Hingga pada penunjukan sebagai capres dari partai PDIP oleh Megawati yang menuai pro dan kontra. Masyarakat yang menyukai sosok Jokowi menyambut baik langkah naik jabatan seperti yang sudah diprediksi sebelumnya sejak dilantik menjadi Gubernur DKI. Namun banyak juga yang mengkritik dengan berasumsi ia ingkar janji karena belum menyelesaikan masa jabatan sebagai gubernur DKI. Dari dua alur pro dan kontra pencapresan Jokowi, pihak kontra lebih melihat dari sisi tidak menepati masa jabatan dan juga sebagai sasaran kecaman ingkar janji jabatan oleh para lawan politik serta orang-orang yang tidak menyukai figur Jokowi. Padahal banyak juga capres, cagub dan caleg yang akhirnya terpilih maupun tidak, ketika pencalonannya masih dalam masa mengemban jabatan. Namun dari sisi pihak yang pro, umumnya melihat bahwa capres-capres kuat para sesepuh partai berlambang beringin sedang membawa modal besar untuk pencapresan dan sangat berpotensi menang dengan membawa berbagai kasus-kasus masa lalu yang belum tuntas dan menerima hadirnya kembali gaya pemerintahan otoriter. Dan hanya sosok Jokowi yang mampu menandingi lawan-lawan dengan modal finansial besar dengan latar belakang yang berbeda dari capres-capres eks Orde baru itu. LSM seperti KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) sangat vokal menyuarakan untuk tidak memilih capres pelanggar HAM. Mengingat keluarga para korban hingga saat ini terus mencari peradilan atas kematian anak dan keluarganya akibat penyalahgunaan kekuasaan. Tidak ada transparansi pembukaan kasus dan penyelesaian sampai berlarut-larut membuat keluarga dan banyak orang makin tidak simpati terhadap para pelaku. Aksi-aksi ini terus digelar hingga detik ini dengan sebutan Aksi Kamisan. Juga dari para mahasiswa yang tiap tahun menggelar aksi damai menyuarakan untuk peradilan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa-penguasa terkait.

Untuk kalangan pemilih baru, kasus-kasus yang terkait pelanggaran HAM oleh capres-capres tersebut nampaknya tidak begitu menarik atau bahkan tidak tahu. Berbeda situasi generasi pemilih dari Pemilu 2004 dan 2009 lalu, setelah lima belas tahun lebih pasca tragedi-tragedi tersebut telah muncul generasi pemilih baru yang dalam tragedi tersebut masih balita dan duduk di bangku TK sampai SD. Pun juga untuk para pemilih tetap yang telah mengikuti Pemilu selama dua atau tiga kali bahkan lebih, tidak serta merta seluruhnya memiliki perhatian khusus dan pengetahuan akan kasus-kasus semacam ini.
Jokowi punya kekurangan dan bukan sosok pemimpin tanpa cela yang jika nantinya terpilih menjadi pantang untuk dikritik karena alasan sungkan sudah terlanjur menjagokan sejak awal. Namun apabila disejajarkan dengan capres-capres pelanggar HAM maupun capres-capres lain yang berpotensi untuk intoleran dan kurang menghargai kemajemukan masyarakat Indonesia, jelas Jokowi sudah punya nilai lebih untuk melampaui akan hal itu. Sikap kritis dan tidak membutakan diri harus senantiasa ada.
Semua warga negara memang mempunyai hak yang sama untuk maju mencalonkan diri sebagai pemimpin negara, termasuk para capres di Pemilu 2014 dengan segala macam latar belakang. Dan rakyat sebagai pemilih dan penentu bisa belajar dari sejarah dan karakter para capres. Rakyat bebas memilih siapa sosok yang tepat untuk memimpin Indonesia membawa perubahan ke arah positif dan mampu memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Selamat memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun