Kesalahan yang banyak dilakukan seorang pengajar saat mengajari hal baru kepada peserta didiknya adalah terus menghujani peserta didik dengan terlalu banyak informasi dalam satu waktu, menyampaikannya dalam konteks yang tidak dipahami peserta didik (umumnya hanya berdasar konteks yang disampaikan pengarang buku atau yang dipahami pengajar), bahkan dengan istilah atau kata-kata yang hanya dipahami pengajar. Jangankan tersimpan di long-term memory peserta didik, terproses saja seringkali tidak. Kebanyakan informasi-informasi “aneh” itu hanya akan mampir lewat di short-term memory kemudian langsung hilang.
Semestinya informasi baru diberikan berdasarkan konteks dan pemahaman yang sudah dimiliki oleh peserta didik. Padahal di Indonesia biasanya ada banyak peserta didik dalam satu kelas dengan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, pengajar disarankan untuk membatasi jumlah informasi baru yang disampaikan dalam satu waktu dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memahami informasi atau konsep-konsep baru yang diterimanya dengan bahasa, konteks, dan pengalaman yang mereka pahami. Sebagai contoh, suatu ketika saya harus menjelaskan tentang konsep mem-format data hard disk komputer di hadapan anak-anak petani. Ya terpaksa saya harus menganalogikan mem-format hard disk dengan aktifitas membajak sawah, membagi petak-petak sawah, dan baru menanam padi sebagai analogi datanya. Diskusi aktif yang melibatkan semua peserta didik adalah strategi paling pas untuk mengimplementasikannya. Pengajar harus secara aktif memotivasi setiap peserta didik untuk menyampaikan kembali informasi yang dipahaminya dengan pemahaman dan bahasa mereka sendiri. Pengajar memiliki tanggung jawab untuk mengevaluasi atau mengoreksi apabila pemahaman itu salah atau berbeda jauh dengan konsep yang dimaksudkan. Selain itu belajar dengan langsung melakukan (learning by doing) juga merupakan salah satu metode efektif untuk mengendapkan langsung pemahaman peserta didik ke konteks dan wujud fisik obyek yang dipelajari.
Sama dengan saat kita ingin mengajari anak kita. Saat mengajarkan sesuatu hal yang baru kepada anak, jelaskanlah dengan contoh atau langsung dengan objek yang kita terangkan dan mempraktekkannya. Anak harus diberikan kesempatan bertanya sebanyak mungkin dan dimotivasi untuk menerangkan kembali apa yang sudah dia pahami dengan bahasa mereka. Itu mengapa memberikan pengalaman positif sebanyak mungkin kepada anak sejak dini juga akan memudahkan ia mempelajari sesuatu terkait pengalamannya itu dikemudian hari. Misalnya, saya memberikan kebebasan kepada anak saya Mulia (8 tahun) untuk melihat, menyentuh, membongkar dan memasang sendiri komponen-komponen komputernya (tentu dengan saya awasi dengan pertimbangan keselamatan kesetrum:). Saya percaya semua detail yang ia lihat dan alami hari ini akan secara otomatis ter'panggil' saat ia mempelajari teknologi komputer secara formal suatu hari nanti. Pada saat itu orang lain akan melihat Mulia sebagai anak yang 'cerdas' karena cepat belajar komputer, padahal ia 'hanya' memanggil dan mengaitkan pengetahuan barunya dengan informasi-informasi di long-term memory dia. Oleh karena itu, saat mempelajari hal yang baru, ajak anak kita mengingat kembali objek-objek, pengetahuan, pengalaman terkait yang sudah dimiliki sebelumnya dan kaitkan dengan pembelajaran hal baru tersebut.
Dengan demikian, setiap anak dan peserta didik, termasuk diri kita, akan lebih mudah dan lebih cepat memahami sesuatu. Lebih dari itu, akan mampu mengingatnya dalam waktu yang jauh lebih lama dan memanggilnya kembali saat menyelesaikan masalah dikemudian hari, karena sebanyak mungkin informasi telah kita simpan di long-term memory kita.
Tony D Susanto - http://motivasibeasiswa.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H