Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paul yang Realis dan Lennon yang Sinis

12 Juni 2020   17:37 Diperbarui: 12 Juni 2020   17:28 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: loudersound.com

Seniman selalu berhasil melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda. Ketika perang dingin blok barat dan timur sedang panas-panasnya, Paul Mc Cartney (Personil The Beatles) justru mencairkan ketegangan melalui lagu "Back in the USSR" yang menceritakan tempat-tempat yang indah di Uni Soviet dan kecantikan gadis-gadisnya.

Mendengarkan lagu bernuansa punk ini seperti mendengarkan lagu kemaren sore. Begitu fresh di telinga. Saat Elton John konser di Moscow (masih dalam suasana perang dingin), kabarnya KGB (Dinas intelejen Soviet) melarang dia membawakan lagu ini.

Namun USSR yang menjadi menjadi biang kerok meletupnya revolusi komunis di hampir separuh belahan dunia diejek John Lennon di lagu "Revolution". Kata Lennon di lagu itu, tidak penting revolusi atau evolusi, yang penting isi otak Anda. Anda ingin mengubah dunia, tapi mindset Anda tidak berubah, ya omong kosong.

Lenon berceloteh, revolusi bukan sekadar teriak-teriak membawa poster sang tokoh pujaan seraya menghujat sang  Raja, Tiran atau musuh politik dengan ujaran-ujaran kebencian. Apalagi disertai lemparan batu dan membakar gedung - gedung (tindakan destruktif).

Berkontribusi bukan berarti memaksa semua orang melakukan hal yang sama (lagi-lagi mengejek ideologi komunis yang menuntut keseragaman, termasuk keseragaman pikiran), tapi bertanya apa yang Anda (rakyat) mampu berikan. Karena lagu ini ada yang mempelesetkan nama John Lennon jadi John Lenin. Lenin adalah tokoh komunis eks Uni Soviet.

Suasana saat ini tak kalah tegang dibanding perang dingin. Ada pandemi Covid-19, perang dagang AS-China, yang residunya sampai ke berbagai penjuru dunia, termsuk negeri kita. Bahkan hari-hari belakangan suasananya lebih tegang, karena efek Covid sudah mampir ke dapur kita. Banyak korban PHK setiap hari khawatir besok anak istri mereka makan apa. Rakyat kecil bertaruh nyawa di jalanan sekadar menyambung hidup.

Anehnya dalam kondisi begini masih ada yang menganggap politik sebagai panglima. Mereka menganggap politik sebagai obat mujarab yang mampu mengatasi semua persoalan.  Pertarungan Pilpres lalu rupanya sudah menjadi prasasti kebencian di kepala mereka, sehingga kapanpun jika diperlukan mereka bisa baca kembali dengan nada amarah.

Dalam suasana seperti kita butuh suasana yang mendinginkan hati, namun tetap mengajak untuk optimistik. Entah dari tokoh agama atau seniman. 

Dari seniman kita butuh pantulan lirik dan nada yang menyentil tapi menggembirakan dan memberi harapan. Minimal kalau kita lagi sumpek, kita bisa senandungkan dalam hati, sambil ngedumel juga tidak mengapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun