Perbincangan mengenai bahaya komunisme kembali mengisi ruang publik akhir-akhir ini. Di media sosial, warganet ramai memperbincangkan bangkitnya paham komunisme di Indonesia. Ketika bicara ideologi komunis, setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik. Pertama, trauma masyarakat Indonesia terhadap partai komunis, yang menurut catatan sejarah sudah tiga kali melakukan pemberontakan: tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965. Kedua, ajaran idelogi komunis yang oleh sebagian besar kalangan agamawan dinilai memusuhi agama. Salah satu ungkapan Karl Max yang terkenal "agama adalah candu bagi masyarakat".
Mengapa masyarakat tiba-tiba tertarik membicarakan ideologi di media sosial? Bukankah selama ini masyarakat lebih senang mem-posting hal-hal yang oleh sebagian orang mungkin dianggap remeh temeh. Majang foto liburan, selfie di restoran, men-share tips-tips bagaimana agar tubuh ideal atau bagaimana caranya agar cepat kaya.
Bicara ideologi sesungguhnya tidak menarik. Apalagi ketika sikap pragamatis begitu menguat di masyarakat. Bukankah wacana atau narasi yang berkembang di masyarakat dikuasai oleh hal yang serba populis. Masyarakat kita lebih tertarik membicarakan sepak bola, gosip selebritis, atau paling jauh membahas nasib karir di kantor atau perkembangan bisnis. Bagi masyarakat kelas bawah, boro-boro mikirin ideologi, besok mau makan saja masih teka-teki.
Kalau banyak yang tidak tertarik dengan ideologi, harap maklum . Karena secara keilmuan menurut W. Lawrence Neuman, kasta ideologi di bawah teori-teori sosial. Sebagai hal yang "menyerupai" teori, ideologi tidak memiliki ciri kritis yang dibutuhkanoleh teori ilmiah yang sebenarnya. Neuman membeberkan beberapa alasan mengapa ideologi kedudukannya lebih rendah dari teori sosial. Ideologi menawarkan jawaban absolut, sistem keyakinan tertutup, dan menghindari transpransi. Sementara teori sosial kebalikannya. Teori sosial menawarkan jawaban tentatif, merupakan sistem keyakinan terbuka, dan mendukung transparansi.
Karena ideologi bersifat absolut, tertutup, dan menghindari transpransi. Jangan heran kalau orang enggan membahas ideologi, apalagi mengkritiknya. Salah-salah kita kita berurusan dengan pihak berwenang. Di negara-negara totaliter, mengkritik ideologi negara bisa jadi dianggap perbuatan subversif. Pengkritiknya bisa dikirim ke terali besi atau dihukum mati.
Berbeda hal jika kita mengkritik teori-teori sosial. Katakanlah teori evolusi Darwin atau teori solidaritas sosial dan kohesi sosial dari Ibnu Khaldun. Para pakar atau masyarakat awam sekalipun bisa mengkritik teori-teori tersebut secara bebas tanpa ancaman pihak lain.
Bicara ideologi komunis, sesungguhnya ideologi ini sudah bangkrut. Semua orang tidak memungkiri fakta ini. Negara-negara penyokong utama paham komunis seperti negara eks Uni Soviet, Rusia dan Tiongkok sudah menanggalkan ideologi komunis. Begitu pun negara-negara Blok Timur seperti Rumania, Bulgaria, dan Yugoslavia sudah berubah jadi negara kapitalis. Begitu pun negara lapis ketiga komunis seperti Vietnam dan Kuba yang sedang berproses menjadi negara kapitalis.
Negara-negara tersebut meninggalkan komunisme, karena ideologi ini terbukti tidak mendatangkan kemakmuran bagi masyarakatnya. Alih-alih mendatangkan kemakmuran, ideologi ini malah menciptakan kemiskinan bagi masyarakat.
Kelemahan Komunisme
Kegagalan komunisme tidak lepas gagasan pendirinya Karl Marx yang ingin menciptakan masyarakat tanpa kelas. Hal ini dianggap utopia belaka oleh banyak orang. Ideologi komunisme terinpirasi dari kehidupan zaman purba, saat dimana masyarakat hidup berkelompok, mereka berburu dan berpindah-pindah satu tempat ke tempat lain. Ketika itu masyarakat belum memiliki konsep kepemilikan dan alat produk untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Paham komunisme kemudian Marx dikoreksi banyak pakar. Salah satunya Erik Wright (1978) yang membatalkan prediksi Marx, bahwa golongan borjuasi kecil, yakni pengusaha kecil dan petani---yang menjalankan usaha sendiri tanpa memperkerjakan orang lain, selain anggota keluarganya sendiri. Golongan ini menurut Marx, jumlahnya akan berkurang atau bahkan hilang. Namun, dalam kenyataannya kelas borjuasi kecil masih tetap ada sampai sekarang, dan bahkan jumlahnya terus membesar.
Prediksi lain dari Marx yang meleset, kaum buruh di negeri-negeri kapitalis akan semakin melarat. Kenyataanya kehidupan mereka lebih sejahtera dibandingkan buruh-buruh di negara komunis. Marx juga meramalkan kelas menengah di negeri kapitalis akan disapu dan hanya sebagian kecil yang akhirnya menjadi kapitalis. Ini juga tidak terbukti. Marx meyakini mekanisasi akan mengurangi keuntungan kapitalis. Fakta berbicara sebaliknya, dengan mekanisasi keuntungan kapitalis justru makin semakin besar.
Jika asumsi-asumsi yang dibangun Marx sedemikian rapuhnya, mengapa masih ada kalangan yang masih bernostalgia ingin membangkitkan komunisme. Di sisi lain, kapitalisme yang diwaktu lampau menjadi tandingan komunisme, sudah sedemikan kuat mencengkram aspek segala kehidupan dan menciptakan basis sosial yang luas. Wright membagi tiga golongan sosial yang memiliki kontrol terhadap sumber daya masyarakat. Jika dahulu komunisme hanya menghadapi kelas pemilik modal, sekarang mereka berhadapan dengan segmen masyarakat yang juga punya akses terhadap modal dan sarana produksi tanpa harus memilikinya .Â
Pertama, golongan kapitalis yang mengontrol investasi, produksi, dan tenaga kerja. Kedua, manajer yang memiliki kontrol terhadap produksi dan tenaga kerja. Ketiga, borjuasi kecil yang memiliki kontrol terhadap investasi dan produksi. Lalu, kelas mana yang tidak memiliki kontrol terhadap investasi, produksi, dan tenaga kerja? Jawabannya kelas pekerja. Namun kelas ini memiliki pressureterhadap pemilik modal dan manajer. Pressure tersebut biasanya dalam bentuk mogok kerja atau demo. Hal ini tentunya bisa menciptakan keseimbangan dalam sistem kapitalis, sehingga pemilik modal dan manajer tidak terlalu berkuasa.
Lalu, relevankah menghembus-hembuskan bahaya kebangkitan komunisme di Indonesia? Pertama, kita menyadari beban traumatik bangsa Indonesia terhadap PKI yang telah melakukan pemberontakan, kekerasan, dan pembunuhan terhadap mereka yang menentang paham komunisme. Kedua, tak kalah pentingnya menurut saya membunuh naluri kapitalisme yang berlebihan dari kita. Jangan sampai emosi kita tersedot memikirkan hantu komunisme, padahal bahaya kapitalisme jelas-jelas mengancam tatanan kehidupan kita. Apalagi kita sering berkoar-koar punya ideologi sendiri, yakni Pancasila.
Kata Max Weber, kapitalisme dimulai ketika orang mulai mematok tanah. Memang sudah menjadi tabiat manusia untuk mengejar prestasi dan memperkaya diri, namun semua ini harus direm dengan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan. Ingat tiga nilai ini tercamtum dalam Pancasila.
Mengapa kita mesti membunuh nafsu kapitalisme? Karena sebagaimana komunisme, kapitalisme juga memilki kelemahan. Habermas (1988) menyebutkan kapitalisme lanjut menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis (gangguan personaliti), dan ketidakseimbangan internasional. Bernard Murchland (1992), seorang pembela kapitalisme yang gigih, mengakui bahwa masalah paling serius yang dihadapi kapitalisme demokrasi adalah pengikisan basis moral.
---
Referensi:
W. Lawrence Neuman: Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
Nur Sayyid Santoso Kristeva, MA: Manifesto Wacana Kiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H