Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jamban dan Peradaban: Tribute 1000jamban.com

19 Januari 2012   09:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:41 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_164759" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi: Istimewa"][/caption]

Tiap kali berhenti di perempatan Pramuka di bilangan Matraman, Jakarta Timur, sambil menunggu lampu hijau menyala saya selalu tergoda untuk menengok ke papan reklame itu. Bukan wanita seksi yang menjadi bintang iklannya, tapi seorang pria berwajah kampungan. Bukan pula iklan komersial suatu produk, namun iklan layanan sosial.

Seorang pria tengah ngeden hendak buang air besar, boker bahasa slenknya. Ekspresi mukanya sangat khas, menunjukkan orang yang tengah dipuncak kenikmatan ketika tokai terlepas dari duburnya. Tempat buang hajatnya bukan di kamar mandi tertutup atau toilet dengan dudukan WC yang bersih, tapi di WC yang pembatasnya terbuat dari pagar. WC kaya begini biasa kita dijumpai di perkampungan kumuh atau di pedasaan. Di desa yang ada empangnya atau kali, WC biasa dibangun di atasnya. Makanya ada yang menjulukinya WC terapung atau helikopter.

Anda yang tidak pernah boker di WC terapung jangan coba – coba buang hajat di situ. Bukannya tokai yang keluar, tapi keringat seukuran jagung yang keluar di sekujur tubuh. Maksud hati hendak melepas hajat, apa daya tinja tak rela dibuang di tempat seperti itu. Perkara boker memang sederhana, namun begitu dia tetap butuh suasana yang nyaman. Sebenarnya boker di WC model begini punya sensasi tersendiri. Bayangkan begitu tinja meluncur di kali, sekawanan ikan langsung berebut menyantapnya.

Tentu WC model begini tak elok kalau masih eksis di perkotaaan, apalagi kota sekelas Jakarta. “Ini Jakarta man...kota metropolitan”. Selama saya menyusuri jalan – jalan di kota Jakarta, dua kali saya ketiban sial melihat tokai di jalan raya. Pertama, saat melintas di bilangan karet Bivak. Kedua saat melintas di Jalan S. Parman, dari atas Bus kota saya melihat setumpuk benda kuning kecoklatan,dan itu saya haqqul yakin kotoran manusia.

Semakin metropolitan kita, semakin beradab cara kita hidup. Termasuk adab buang hajat. Di tengah hamparan hutan beton dan gemerlap kehidupan metropololitan seperti Jakarta, harus diakui masih ada sebagian masyarakat kita yang mau buang hajat saja susah. Tidaklah mengherankan sepanjang kali di Jakarta masih sering dijumpai kotoran manusia mengapung. Ataupun kalaupun mereka buang hajat di jamban, tempatnya tidak layak dan tidak memenuhi standar kesehatan, dan tentunya tak sedap di pandang mata.

Urusanbuang hajat memang mencerminkan peradaban suatu masyarakat. Dulu kita hanya mengenal WC cubluk (WC tanpa dudukan permanen)atau WC helikopter. Selanjutnya kita mengenal WC jongkok,dengan dudukan dari porcelen.Yang paling mutahir adalah WC duduk. Buang hajat di WC model begini sangat nikmat, karena Anda terhindar dari bau tak sedap dan melihat kotoran Anda. Karena begitu selesai, dan Anda bisa langsung menekan splash, dan kotoran Anda seperti menghilang ditelan bumi.

Bicara tentang WC kita patut berterima kasih kepada PKPU yang telah menggagas program 1000 jamban untuk masyarakat. PKPU merupakan kependakan dari Pos Keadilan Peduli Ummat, salah satu LSM di Jakarta. Kalau Anda penasaran dengan program ini, Anda bisa mengklik laman www.1000jamban.com. Rupanya iklan yang sering saya lihat itu milik PKPU. Mudah – mudahan dengan program ini semakin banyak warga Indonesia yang bisa menikmati WC yang layak. Jujur, walaupun sering diletakkan di belakang dan segala ketidaknyamannya, WC menjadi salah satu lokasi favorit untuk berkhayal. Banyak karya – karya besar lahir dari perenungan di atas jamban, salah satunya kumpulan puisi karya Rieke Diyah Pitaloka berjudul “Renungan Closet”. Saya sendiri tergerak untuk menulis ini setelah melepas hajat di rumah. Jadi jangan meremehkan keberadaan sebuah jamban. Perlakukan dan rawatlah dia dengan baik, sebaik Anda merawat bagian rumah Rumah Anda yang lain.

Biasanya kita baru ngeh keberadaan WC di rumah setelah ada tamu yang minta ijin mau ke “belakang”.” Aduh maaf ya, WC nya kotor belum sempet dibersihkan”. Padahal memang jarang dibersihkan.Waduh gawat deh, ketahuan malas dan joroknya.

Tanah Kusir, 19/01/12

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun