Mohon tunggu...
Tony Rosyid
Tony Rosyid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamat Politik

Pengamat Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menolak Rekonsiliasi Semu

11 Januari 2021   11:42 Diperbarui: 11 Januari 2021   13:32 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rekonsiliasi memang tak harus berkoalisi. Tak harus, artinya boleh, sah dan mungkin bagus-bagus saja. Yang terpenting bukan koalisi menghasilkan apa, tapi jenis rekonsiliasi macam apa yang akan didesign untuk memberi kontribusi bagi masa depan bangsa. Kalau rekonsiliasi ujung-ujungnya bagi-bagi, itu koalisi namanya. Bukan rekonsiliasi! Jadi, kepentingan bangsa mesti jadi tujuan dasarnya.

Rekonsiliasi, dalam pengertian yang sebenarnya, bisa jadi solusi. Tapi, ini sifatnya jangka pendek. Setidaknya, untuk sementara bisa meredam kegaduhan sosial. Tapi, rekonsiliasi model seperti ini bersifat semu, jika ukurannya untuk orientasi jangka panjang.

Konflik antar elit itu bersifat periodik. Di pilpres 2024, identitas pemilih dan konstalasi politiknya juga akan berubah. Saat itu, atau setidaknya pasca 2024, situasi kemungkinan akan mencair. Karena itu, gak perlu habiskan energi hanya untuk semata-mata mewujudkan rekonsiliasi.

Ada sumber masalah yang sesungguhnya lebih serius dan mendasar untuk menjelaskan mengapa Indonesia mudah terpancing dan sering mengalami ketegangan sosial. Pertama, adanya kesenjangan ekonomi yang begitu lebar antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Ada ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun, bapak sosiolog dunia, dianggap berpotensi memicu ketegangan

1% orang Indonesia menguasai 50% kekayaan Indonesia. 10% menguasai lebih dari 70% kekayaan negara. Regulasi, kebijakan dan program pembangunan bangsa selama ini tidak berorientasi untuk mempersempit jarak kesenjangan itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Makin lebar.

Kedua, hukum kita sudah jauh keluar dari karakter normatifnya. Pasal-pasal dalam undang-undang sudah tak aman lagi, dan menjadi perebutan oleh berbagai kepentingan. Diantaranya oleh kekuasaan, korporasi, pemilik uang, bahkan penegak hukum itu sendiri sering menjadi salah satu pemainnya . Hukum seringkali menjadi arena adu kekuatan antar pihak. Dan wasitnya ikut mein.

Ketiga, sistem demokrasi telah melahirkan para politisi minus jiwa kenegarawanan. Politisi tunduk pada parpol, negarawan tunduk pada aturan dan kepentingan rakyat. Politisi berorientasi prestis, negarawan berorientasi prestasi untuk bangsa. Politisi menjadi pemimpin para pendukung, negarawan tak lagi peduli dukungan. Politisi menari di atas konflik dan pencitraan, negarawan sibuk melakukan rekonsiliasi.

Kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum dan hadirnya banyak politisi minus mental kenegarawanan menjadi faktor utama mengapa gejolak sosial mudah mendapatkan triggernya. Dan ini tak akan berhenti menjadi ancaman bagi bangsa. Kalau Indonesia ingin damai, tiga PR tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak, maka drama kekuasaan akan terus memainkan rakyat sebagai aktor lapangan yang akan selalu dibenturkan satu dengan yang lain. Disitulah kegaduhan sengaja dipelihara.

Jakarta, 11 Januari 2021

tayang di kronologi.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun