Salah seorang kawan, anggota DPR, suatu hari telp saya. Menanyakan gerakan 212. Ada indikasi Indonesia mau dirubah modelnya jadi negara Arab. Pancasila diganti dengan khilafah. Lalu, terjadilah Arab Spring, katanya. Dia mau bilang ISIS, tapi takut salah.
Kawan saya ini mewakili pikiran banyak orang di Indonesia. Terutama dari kalangan Nahdliyyin dan PDIP yang Phobia terhadap istilah khilafah. Mereka berpikir bahwa 212 itu gerakan politik HTI. Atau setidaknya ditunggangi oleh HTI. Hebat kali HTI ini, sampai bisa menunggangi 212.
Dalam dialog Rosy di Kompas TV (30/8) saya lihat ekspresi ketua Ansor dan Maruar Sirait begitu antusias. Siap-siap gebukin orang yang mau merubah Pancasila.
Tanya Ahmad Dhani: sopo sing Arep ngerubah Pancasila? Dan bagaimana mereka bisa merubah? Bulsheet, kata Ahmad Dhani.
Di sisi lain, ada dari kelompok pendukung oposisi menyerang Jokowi dan PDIP dengan tuduhan PKI. Setidaknya disusupi oleh orang-orang komunis. Sejumlah orang yang mengaku anak-anak PKI yang aktif di PDIP dianggap membahayakan terhadap NKRI. Dimana bahayanya?
Kedua belah pihak punya narasi yang sama: bela NKRI. NKRI harga mati. Sayangnya, mereka melegitimasi dirinya sebagai pembela NKRI dengan cara "mengimajinasikan" lawan politiknya sebagai anti NKRI. Lucu bukan?
Mereka bengak-bengok: Aku NKRI, kamu PKI. Aku Pancasila, kamu khilafah yang mau ganti Pancasila. Aku mempertahankan Kebhinekaan, kamu tidak toleran. Makin ngawur!
Yang satu nuduh bahwa khilafah ini dijadikan gerbong perjuangan politik oposisi untuk mengganti Pancasila. Semua kelompok oposisi dianggap pro-khilafah dan jadi ancaman NKRI. Satunya lagi menggunakan diksi PKI dan memasukkan partai pro pemerintah sebagai pro PKI. Benar-benar lelucon yang menggelikan.
Keduanya mengidap penyakit Orbaisme. Semua yang jadi lawan Orde Baru dari kalangan nasionalis dituduh PKI, dan dari kalangan Islam dilabeli DI/TII. Pewaris Kartosuwiryo.
Di era Jokowi, istilah DI/TII sudah usang. Muncul istilah baru sebagai obyek permusuhan yaitu HTI. Ormas yang selalu dijadikan icon oleh kelompok pro-penguasa sebagai anti NKRI. Betul-betul klasik dari aspek cara memainkan diksinya.
Dengan tuduhan itu mereka bisa pertama, meciptakan opini bahwa gerakan lawan politik itu membahayakan NKRI. Kedua, menumbuhkan militansi perlawanan secara massal kepada gerakan itu. Sangat klasik. Meski klasik, terus dihidupkan sampai sekarang karena terbukti efektif. Munculnya gerakan persekusi adalah bukti riil efektifnya diksi anti NKRI ini.