Sesungguhnya, nilai yang terkandung dalam Islam sudah sempurna. Hanya saja sebagian orang masih skeptis kalau bukan apatis terhadap kesempurnaan tersebut. Bukti kesempurnaan islam adalah kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan zaman. Sebut saja tantang politik, ekonomi, hukum, sains, dan sebagainya. Khusus dalam bidang ekonomi-politik, Islam menampakkam diri dengan visi keadilan sosialnya. Maka tidak heran, kemudian beberapa tokoh muslim mencoba meramu konsep Islam dan Sosialisme untuk menantang sistem ekonomi kapitalis. Diantaranya adalah Ali Syariati di Iran, Ali Ashgar Enginer di Pakistan, hingga Cokroaminoto dan muridnya, Soekarno, di Indonesia.
Sebenarnya islam tidak sendiri. Di Jerman terdapat pula partai sosialis Kristen yang mencoba memadukan gagasan marxisme dengan ajaran kristen. Umumnya, konsep di atas disebut sebagai Sosialisme Religius. Namun, apakah Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya yang lantang menyuarakan gagasan sosialisme sebagai ganti dari eksploitasi kapitalis benar-benar mewujudkan keadilan sosial? Karena negara-negara yang dituduhkan kapitalis seperti Jerman ternyata adalah negara yang telah mewujudkan jaminan sosial, pemerataan kesempatan, persamaan hak dan manifestasi-manifestasi keadialan sosial lainnya. Maknanya adalah, sosialime dengan gagasan keadilan sosialnya bukan sekadar gagasan dan teriakan revolusi. Semuanya itu adalah persoalan siapa yang paling menerapkan keadilan sosial, apapun nama sistemnya. Terlebih jika penerapan tersebut disertai niat spritual dan religius, tentu dampaknya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Nilai-nilai dalam Islam merupakan hal yang universal dan tidak pernah berubah. Lalu, mengapa Islam dapat relevan dengan setiap zaman jika ia statis tak pernah berubah? Mengapa pula Islam mengalami kemunduran peradaban pada abad belakang ini? Nilai-nilai keislaman memang merupakan hal yang universal dan tidak pernah berubah. Relevansi Islam dan setiap zaman hanya pada nilai yang dikandungnya. Hanya saja, setiap zaman membutuhkan metode masing-masing. Misalnya, setiap zaman tunduk pada ilmu pengetahuan. Tetapi metode memperoleh dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan pada setiap zaman tentu berbeda-beda. Metode itu bergantung pada aspek sosiologis. Sementara aspek sosiologis berkaitan dengan ruang-waktu (zaman). Maka, sosiologi Islam adalah perbincangan mengenai metodologi apa yang harus digunakan untuk mempengaruhi perkembangan masyarakat (Ali Syariati; Sosiologi Islam, hal 90)
Islam dan Modernitas
Beberapa umat muslim menantang upaya modernisasi Indonesia. Alasannya jelas, bahwa modernisasi merupakan produk Barat yang hendak menerapkan kolonialisme dengan gaya yang baru. Cak Nur dalam makalahnya "Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan westernisasi menentang habis-habisan miskonsepsi tersebut. Seperti judulnya, makalah tersebut berisikan penjelasan mendalam tentang apa yang dimaksud dengan modernisasi. Menurutnya, modernisasi adalah upaya pemuktahiran pola pikir lama (irasional) menuju pola baru (rasional). Jadi, modernisasi adalah upaya menuju peradaban rasional yang tidak mesti kebarat-baratan.
Miskonsepsi yang menganggap bahwa modernisasi adalah westernisasi diakibatkan oleh politik kolinialis Belanda yang melakukan staratifikasi pendidikan antara kaum elite bangsawan dan muslim Indonesia. Snouck Hougrenye adalah islamolog yang menyarakan pihak Belanda agar bersikap netral terhadap Islam sebagai agama, tapi menyarakankan untuk bumi hanguskan Islam sebagai ideologi politik yang menurutnya sebuah ancaman besar. Pengalaman dikucilkan dari dunia pendidikan membuat karakter muslim Indonesia menjadi skeptis dan nonkoperatif terhadap modernitas yang memang dunia Barat selangkah lebih modern ketimbang Indonesia. Tapi tetap saja, mengindetikkan modernisasi dan westernisasi adalah paralogisme atau kekeliruan berpikir. Islam sebagai agama yang mengutamakan optimalisasi akal, tentunya mewajibkan setiap penganutnya memutakhirkan pola pikir rasionalnya atau dalam artian; Modernisasi.
Relevansi Pancasila dan Masyarakat Muslim Modern
Masyarakat muslim modern adalah suatu konsep mengenai upaya mengembangkan peradaban islam yang tengah stagnan, khususnya di Indonesia. Modern yang berarti pemutakhiran pola pikir adalah solusi atas stagnansi tersebut. Sila Ketuhanan merupakan landasan spiritual bagi setiap masyarakat muslim modern. Sila Kemanusiaan adalah akar masyarakat muslim modern. Sila Persatuan media penghimpun masyarakat muslim modern. Sila Kerakyatan merupakan karakteristik masyarakat muslim modern. Dan Sila Keadilan Sosial merupakan tujuan masyarakat muslim modern. Jadi, Pancasila dan masyarakat muslim modern memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam hal nilai-nilai yang dikandungnya.
Salam Pancasila!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI