Mohon tunggu...
Tony Thamrin
Tony Thamrin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ziarah ke Tempat-tempat Bersejarah dari The Beatles

3 November 2015   16:37 Diperbarui: 3 November 2015   19:35 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Close your eyes and I'll kiss you. Tomorrow I'll miss you.
Remember ... And hope that my dreams will come true.

Sebagai penggila musik British, mendapatkan kesempatan menginjakkan kaki di Inggris merupakan anugerah terbesar dalam hidup saya. Rute ziarah dari London ke Liverpool, saya lalui dengan penuh kenangan yang memukau bahkan berkaca-kaca! Bagaimana bisa tidak terharu? Saya berkesempatan menyeberang ala The Beatles di Abbey Road, menginap di Hard Days Night Hotel, dan juga melihat piano putih bersejarah yang merupakan instrumen dari terciptanya sebuah karya besar John Lennon, Imagine. Dan inilah cerita perhalanan “naik haji” saya dengan melakukan ziarah di daerah asal John, Paul, Ringo dan George. Yuk!

If there's anything that you want.
If there's anything I can do.
Just call on me and I'll send it along.
With love from me to you.

LONDON

He bag production, he got walrus gumboot.
He got Ono sideboard, he one spinal cracker.
He got feet down below his kne.e
Hold you in his armchair you can feel his disease.
Come together right now over me.

Ketika menginjakkan kaki di London, entah mengapa saya tidak tertarik dengan bangunan ikon Inggris seperti: Big Ben, Westminster Abbey, atau London Eye. Anehnya saya hanya tertarik kepada sebuah zebra cross fenomenal di kawasan Abbey Road yang jaraknya hanya beberapa langkah dengan studio musik legedaris itu. Nama daerah ini juga dijadikan sebagai tajuk album ke 11 The Beatles yang berisi banyak hits, antara lain: Let It Be, Come Together, Get Back, Something, Here Comes The Sun dan masih seabrek lagi lainnya. Untuk dua lagu yang saya sebutkan terkahir merupakan kontribusi dari otak George Harrison. Saat berfoto di penyeberangan bisa dibilang butuh kesabaran tinggi karena saya harus menuggu giliran kepada “model penyeberang” lainnya. Kesabaran makin diuji karena kita harus pintar menangkap momen berfoto saat zebra cross-nya sedang lengang. Agak susah juga karena itu jalanan umum yang kadang membuat kesal para pengendara yang melintas akibat sering terjadi kemacetan.

Mungkin karena para fans tidak diperbolehkan masuk ke studio Abbey Road, mereka menumpahkan rasa cintanya kepada The Beatles dengan mencoret-coret pagar studio, lengkap dengan nama personil yang dituju. Jika kita kembali ke sejarah, pada tahun 2009 bangunan ini nyaris dijual oleh sebuah property developers. Tapi pemerintah Inggris melindunginya dengan menganugerahkan Abbey Road Studio sebagai salah satu English Heritage. Banyak yang tidak tahu studio itu sebenarnya bukan hanya pernah digunakan rekaman The Beatles saja, tapi Pink Floyd juga. Mungkin karena image Abbey Road telah melekat kepada empat pria legendaris tersebut.

 LIVERPOOL

Keesokan harinya dengan mengendarai bis, saya melanjutkan ziarah ke Liverpool. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam dari London. Melewati Birmingham yang berakhir dengan ruas jalan menuju Manchester ke kiri dan Liverpool ke kanan. Bisa dibilang daerah ini “tidak ada apa-apanya” ketimbang London. Kota ini andalannya hanya bergantung kepada klub sepak bola dan The Beatles tentunya.

Karena kota pelabuhan, udara di sana dinginnya lebih menggigit disebabkan tiupan angin laut yang juga ikut berperan. Saya menginap di hotel Hard Days Night dan memilih harga kamar termurah £275. Murah??? Lupakan kebiasaan menghitung kurs pound sterling ke rupiah. Tidak ada yang murah di Inggris, bung! Toh saya juga hanya semalam.

It’s been a hard day’s night and i’d been working like a dog.
It’s been a hard days night, I should be sleeping like a log.

Sebelum menjadi hotel, dulunya bangunan kuno ini bernama Central Building yang didirikan pada tahun 1884 tepat di jantung kota Liverpool. Aura Beatles sangat kental ketika saya memasuki hotel ini. Lukisan dan foto para personil melekat anggun di seluruh dinding. Interior di ruang receptionist juga unik, karena di lotengnya bergantung banyak kertas not lagu karya Beatles. Saat check in saya berhenti mengagumi isi hotel ini karena masih ada tempat bersejarah lainnya yang harus saya samperin. Apa lagi kalau bukan Cavern Club, sebuah bar kecil yang konon The Beatles telah manggung sebanyak 292 pertunjukan. Berawal dari saat mereka belum punya nama sampai meledak di seantero penjuru dunia.

Letak Cavern hanya beberapa blok saja dari hotel. Bar yang beroperasi mulai dari pukul 10;00 pagi ini,tidak memungut ongkos masuk kecuali saat pukul 20:00 sebesar £4. Kebetulan saat itu sedang acara Tribute of Beatles yang menampilkan empat pria versi KW super John, Paul, Ringo dan George. Semuanya mirip semirip-miripnya! Saya sempat merinding dan berkaca-kaca ketika “band ala-ala” itu menyanyikan: Strawberry Fields Forever, And I Love Her, Come Together, dan seabrek hits lainnya.


Let me take you down, cause I'm going to Strawberry Fields.
Nothing is real, and nothing to get hung about.
Strawberry Fields forever.


Band cover saja sanggup membuat bulu kuduk meremang, bagaimana kalau Beatles asli yang manggung? Mungkin saya sudah pingsan sambil kejang-kejang hahaha. Saat itu pub bawah tanah beratap pendek tersebut sedang padat pengunjung. Mereka nge-bir sambil singalong. Tidak ada satu pun yang merokok karena aturan di Eropa melarang tempat umum dalam ruangan tertutup untuk ngebul. Tempat nongkrong seru ini berdiri sejak tahun 1957. Sempat tutup di tahun 1973 dan 1989. Awalnya Cavern dikenal sebagai klub jazz pada akhir era 50-an, yang digantikan rock n roll mulai era 60-an. Memasuki pub ini, saya harus melewati beberapa tangga yang turun ke ruang bawah tanah.

Kebayang dong jaman dulu ketika larangan merokok belum diiberlakukan, mungkin banyak pekerja di sana yang terserang sakit paru-paru karena asap rokok, di tambah lagi dengan kondisi atap yang sangat rendah.

Ternyata bukan hanya Beatles saja yang pernah ngamen di sini, tercatat ada The Rolling Stones, The Yardbirds, The Kinks, Elton John, Queen, The Who, Travis, Oasis, dan masih bayak lagi. Bahkan di pintu keluar ada saya menemukan foto berpigura Arctic Monkey yang ternyata juga pernah
manggung di Cavern.

Pub itu terletak di pojokan sebuah gang Mathew Street, yang bertetanggaan dengan tempat hiburan malam lainnya dengan konsep musik berbeda. Mulai dari jazz, classic disco, juga pastinya rock n roll. Beberapa langkah dari situ saya menemukan butik Vivienne Westwood, yang kita kenal sebagai perancang busana legendaris bergaya punk karena kedekatannya dengan Sid Vicious dari Sex Pistols.

Here comes the sun.
Here comes the sun,
and I say, It's all right.

Keesokannya, pada hari terakhir di Liverpool, saya berkunjung ke The Beatles Story yang juga sekaligus sebagai tempat terakhir ziarah ini. Museum yang terletak di pelabuhan Albert Dock ini, memang wajib diziarahi buat para Beatles Mania. Jujur saja, awalnya saya memberi ekspektasi tinggi pada museum ini. Saya pikir bakal banyak mendapatkan barang pribadi para personil. Dan ternyata saya harus kecewa karena hanya menemukan gitar pertama milik George Harrison (seperti yang terpajang di Hard Rock Cafe), selebihnya foto-foto dan penayangan video. Pada bagian ruangan pertama terdapat silsilah keluarga setiap personil The Beatles lengkap dengan data diri dan latar
belakang pendidikan mereka. Agar lebih maksimal, setiap pengunjung dibekali audio guide. Saya menemukan beberapa tulisan kutipan Lennon dengan huruf yang dicetak berukuran besar, seperti:

Spot favorit saya adalah sebuah piano putih yang katanya John Lennon pernah menciptakan lagu Imagine lewat instrumen itu. Bulu kuduk tiba-tiba meremang ketika mengalun Imagine dari speaker....

You may say I'm a dreamer
but I'm not the only one.
I hope someday you'll join us
and the world will be as one.

Di bagian ujung sebelum pintu keluar, para pengunjung langsung diarahkan ke Beatles Store. Sebuah taktik marketing yang hebat karena sudah pasti para penggemar band ini akan menghabiskan isi dompet di situ. Semua merchandise tersedia, tapi sayagnya saya tidak menemukan jam tangan (sedih). Harga barangnya termasuk mahal. Saya menghabiskan £75 hanya untuk: tas dan dompet berbahan dasar kain jeans, miniatur, wig Lennon, dan kalender 2015. Yang unik dari kalender ini
(makanya saya beli) berbentuk kotak seperti vinyl album Help! Yang bisa dibuka secara vertikal, lengkap dengan foto para personil yang sangat ekslusif.

Keesokannya, melanjutkan perjalanan ke Manchester dan kembali ke Indonesia melalui kota kelahiran Oasis tersebut. Saya pulang dengan senyum yang selalu mengambang di perjalanan sepanjang 13 jam itu. Karena harus transit Munich dan Singapore sebelum mendarat di Jakarta. Sesampai di rumah, timbul beberapa penyesalan. Kenapa nggak kepikiran ikutan paket Beatles Walk yang saya acuhkan ketika tia di Liverpool. Dalam paket itu ada kunjungan ke rumah masa kecil semua personil Beatles, menyambangi kampus John Lennon tempat pertama kali dia berkenalan dengan Paul McCartney, dan masih banyak lagi acara ziarah lainnya. Sungguh menyesal!

Dan penyesalan saya makin komplit, ketika sesampainya di Indonesia, menyadari tidak sempat datang ke kebun strawberry yang menjadi ilham lagu Strawberry Fields Forever. Aaaargh!!!

 

Tony Thamrin

(Music Director, Broadcaster, DJ, Britfreak)

 

Twitter: @tontham

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun