Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rakyat Tetap Menderita, Miskin, dan Bodoh, Desain Siapa?

31 Januari 2023   09:17 Diperbarui: 31 Januari 2023   09:19 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan, adalah desain penjajah kolonialisme agar dapat berkuasa di Indonesia lebih lama. Bagaimana dengan penjajah moderen Indonesia? Sepertinya, konsisten melanjutkan warisan penjajah kolonialisme demi kelanggengan kekuasaan mereka juga. Jadi, agar rakyat tetap menderita, miskin, dan bodoh, sepertinya, itu program?

Pendidikan kunci

Pendidikan rakyat Indonesia yang masih terpuruk, tercecer di Asia Tenggara, Asia, dan Dunia, apakah bukan menjadi salah satu dari sandiwara politik? Lihatlah, dalam rangka menuju 2024, betapa ramai dan gempitanya para aktor yang akan di tempatkan menjadi pemeran utama, pemeran pendamping, pemeran pembantu terus diapungkan dengan berbagai skenario politisasi yang digarap oleh para pekerjanya, yang rela mempermalukan dan merendahkan dirinya demi mengabdi pada para junjungannya demi menyambung hidupnya. Tetapi sampai menjual wacana dan narasi memecah belah bangsa. Dengan mengangkat tinggi yang membayarnya, dan menjatuhkan sedalam-dalamnya musuh junjungannya.

Bagaimana dengan rakyat jelata? Apa yang didapat oleh rakyat atas riuh rendahnya pesta pora orang-orang yang disebutnya elite negeri? Padahal mereka mendapat julukan "wah" sebagai elite, tetapi perilaku dan karakternya banyak yang lebih rendah dari perilaku dan karakter rakyat jelata. Bahkan, meski berpendidikan tinggi, hasil pendidikannya hanya dimanfaatkan untuk menipu dan membohongi rakyat dengan berbagai dalih atas nama rakyat. Demi rakyat jelata yang kebanyakan miskin dan bodoh, ikut ke dalam gerbongnya, disuap sedikit, tapi balasannya rakyat terpaksa harus rela suaranya menjadi milik para penipu yang berkedok di balik politik itu, demi sebuah kursi empuk.

Dari kursi empuk itu, akan beranak pinak kemakmuran dan kesejahteraan dirinya, keluarganya, dinastinya, partainya, oligarginya, golonggannya, kelompoknya, sampai cukong-cukongnya. Peraturan dan Undang-Undang yang membahayakan mereka, pun dibuat sedemikian rupa, terutama menjadi pelindung mereka, bukan untuk kepentingan rakyat. Mereka sudah kecanduan kemewahan yang didapat dengan mudah dari panggung berenama politik. Di belantara politik, nikmat dunia apa yang mereka dustakan?

Politik yang turunannya kekuasaan, jabatan, mereka terus perjuangkan dengan menjadi penjajah baru, melebihi keberingasan penjajah kolonialisme. Sebab, dengan politik, kekuasaan, jabatan, akan mengalir uang, bisnis, kehormatan, dan sejenisnya. Meski diperoleh dengan menghalalkan segala cara.

Kelompok yang kecanduan politik, kekuasaan, dan jabatan, demi menang di 2024, nampaknya akan menggunakan segala cara. Sebab, melalui cara obyektif, lawan sepertinya bisa mengalahkan. Jadi, sepertinya, seperti yang sekarang sudah terus masif dilakukan, saling menjatuhkan sudah menjadi berita biasa di berbagai media massa dan media sosial jagat nusantara ini.

Para aktor politik dan kekuasaan yang sejatinya, tidak lebih rendah dari derajat rakyat jelata ini, karena dapat hidup mewah, sejahtera, berdinasti, beroligarki, dari "mengakali" rakyat jelata dan mengambil yang bukan haknya. Tetapi mereka selalu takut kehilangan yang bukan milik. Selalu, punya cara membuat rakyat jelata memberikan suaranya untuk mereka tetap dapat terpilih duduk di kursi kekuasaan dan jabatan. Sebab, selalu, rakyat jelata dibuat untuk tidak punya pilihan. Karena, terus diposisikan dalam kondisi miskin dan bodoh. Yah, penjajah Indonesia sekarang, lebih kejam dan serakah dari penjajah kolonialisme.

Penderitaan dan kemiskinan kuncinya hanya satu yang dapat menyembuhkan, yaitu kecerdasan, agar tidak terus dibodohi, dimanfaatkan. Dengan pendidikan, maka manusia akan dapat lepas dari penderitaan dan kemiskinan. Tetapi, bila pendidikannya terpuruk atau bahkan  tidak berpendidikan, bagaimana rakyat dapat mengentaskan dirinya dari derita dan miskin?

Sejarah rakyat dibuat tidak punya pilihan

Tengoklah sejarah, lebih dari 350 tahun, rakyat Indonesia diposisikan untuk tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Yaitu tetap dalam penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan. Siapa yang mendesain? Jawabnya, penjajah kolonialisme Belanda. Belanda sengaja merancang, mendesain, merekayasa agar bangsa pribumi yang mereka sebut sebagai inlander abadi dalam penderitaan, kemiskinan dan kebodohan.

Penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan, adalah senjata paling murah untuk melawan musuh. Kala itu dilakukan oleh penjajah kolonialisme, agar dapat menguasai Indonesia tanpa harus dengan modal besar.

Kini, penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan, pun dijadikan senjata ampuh oleh penjajah baru, yang ngakunya dari anak cucu bangsa negeri sendiri, demi mempertahankan kekuasaan politiknya, kekuasaan dinastinya, kekuasaan oligarkinya, dan kekuasaan-kekuasaan lain di NKRI.

Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat yang menderita? Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat yang miskin? Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat yang bodoh? Lihatlah, siapa yang kini mulai muncul, dipersiapkan untuk melanggengkan kekuasaan politik, kekuasan dinasti, dan kekuasaan oligarki, selagi berkuasa di atas rakyat yang menderita, miskin, dan bodoh.

2024 semakin dekat. Siapa yang mau ketinggalan kereta? Baliho dan spanduk sudah bertebaran dimana-mana. Menghiasi ruang publik sampai ke desa-desa. Dunia maya, juga sangat politis. Secara substansi, mereka sudah membicarakannya jauh-jauh hari. Pergerakannya sudah terlampau hiperaktif. Siapa sasarannya?

Sasarannya adalah rakyat yang menderita , miskin, dan bodoh. Yang akan menjadi mesin suara untuk kemenangan mereka. Tetapi dengan biaya dan ongkos yang murah. Yang mahal mereka ambil sendiri, untuk keuntungan dan kepentingan mereka, yaitu kursi kekuasaan, dinasti, dan oligarki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun