Bagi umat muslim, nama adalah doa, identitas diri, penanda "kesadaran teologis". Nama juga sebagai pujian terhadap agama, perhiasan, dan syiar, sebab nama seseorang di dunia, pun akan diseru/dipanggil di akhirat dengan nama yang sama di dunia.
Bagi bangsa Jepang, nama adalah harapan (kibo). Tak heran, orang tua di Jepang melekatkan unsur kuat, sehat, dan pintar pada nama anak laki-laki. Lalu, unsur indah, cahaya, dan cerdas pada anak perempuan.
Harus disadari bahwa setiap peristiwa selalu terhubung dengan nama. Bahkan sebagai pencipta kedua, manusialah pencetus peristiwa. Bila disebut dalam peristiwa atau tindakan yang baik, nama pelaku akan turut terbawa harum. Namun bila nama seseorang dikaitkan dengan peristiwa buruk, atau perbuatan salah, pasti namanya turut tercemar.
Lihatlah di ranah hukum yang dibuat oleh manusia di dunia. Hukum melindungi nama yang diduga terlibat tindak pidana namun belum terbukti bersalah menurut keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Orang yang diduga bersalah harus dianggap tidak bersalah sampai pengadilan membuktikan kesalahannya. Itulah sebabnya, penulisan nama terduga 'pelaku" cukup dengan inisial.
Sayang, seiring berjalannya waktu, penghargaan atas sebuah nama di ranah hukum ini dirusak oleh media yang tidak cerdas dan tidak terdidik. Menyangkut nama terduga pelaku, kini ada media yang memberitakan dugaan tindak pidana, menuliskan nama terduga pelaku dengan nama jelas. Miris. Akibatnya, publik pun mengikutinya. Sebab kini dianggap sudah menjadi pengetahuan umum, publik merasa tidak melanggar hukum ketika menuturkannya, bahkan berbagi pesan tentang dugaan pidana secara telanjang. Tidak sadar di belakanngnya akan ada tuntutan yang datang.
7 hari kepergian Mas Nano, penting bagi saya untuk senantiasa mengingatkan diri tentang nama saya dan apa yang sudah saya perbuat sesuai arti nama saya. Sebab, nama Mas Nano, sesuai artinya, faktanya telah terbukti teraplikasi dalam proses kehidupannya di dunia. Mas Nano menginggalkan nama baik yang lebih berharga daripada harta, dan akan selalu ada dalam pikiran kita semua.
Terima kasih atas  pemberian nama JW
Di 7 hari kepergian Mas Nano, saya juga mengucapkan terima kasih atas pemberian nama di belakang nama saya: JW, menjadi Supartono JW.
Saya tahu persis nama saya artinya apa. Sebab, kedua orangtua saya memberi tahu saat saya sudah memahami arti sebuah nama. Nama adalah doa. Dan sudah semustinya, orangtua saya berharap, segala tingkah laku kehidupan saya di dunia, sesuai arti namanya. Dalam proses pendidikan di Kampus IKIP Jakarta tahun 80an, sebab saya aktif dalam keorganisasian bidang kesenian dan olahraga karena sebagai praktisi sepak bola dan teater, dosen yang saya kagumi, almarhum Jos Daniel Parera atau JD Parera, memberikan tambahan panggilan sayang kepada saya dengan tambahan Jawa.
Alasan mengapa JD Parera memanggil saya si Jawa, sangat saya pahami, pun dipahami oleh teman dan sahabat saya di Kampus. Lebih dari itu, kata Jawa mengacu pada nama-nama seperti suku, bahasa, budaya, pulau. Jawa juga berarti padi. Jawa itu adalah pemahaman menjalani hidup seperti ilmu padi. Memahami sesuatu secara keseluruhan, secara kesejatian. Padi itu apa? Padi itu bermanfaat dan berbahagia. Jadi, padi berbahagia ketika dirinya bermanfaat, terus merunduk dan lain-lain.
Hingga saya menjadi bagian dari Keluarga Besar Teater Koma, nama Supartono Jawa dalam kegiatan teater ingin saya pertahankan. Sebagai anggota Teater Koma Angkatan VIII/1993, dalam dua produksi pementasan yang saya ikut dilibatkan, yaitu Rampok (1993) dan Opera Ular Putih (1994), dalam Buku Acara Pementasan, nama saya masih ditulis Supartono.