"Administrasi pembelajaran banyak yang tinggal didownload. Lucunya, banyak guru yang tidak paham dengan apa yang didownload. Yang penting administrasi penuh. Menyoal paham atau tidak paham, tidak dipermasalahkan." Miriskan, tutupnya.
Pencurhat 4:
"Pengembangan diri guru, ujungnya hanya demi target kejar sertifikat untuk syarat naik pangkat. Menyoal kenaikan pangkat, contoh dari golongan 3B ke atas, harus membuat Karya Ilmiah/PTK. Ironisnya, ada lho, kalau PTK membuat sendiri, malah dipermasalahkan. Sebab ada pilihan, bila mau terima jadi, harus membayar Rp1,5 juta. Bagaimana guru mau meningkat kualitas dan kompetensinya. Bagaiamana mau kreatif dan inovatif? Untuk persyaratannya saja ada lahan untuk untuk mendapatkan uang." Tutupnya
Masih banyak curhatan dari Pencurhat lain. Tetapi, narasi deskripsi dari 4 pencurhat, cukup menggambarkan kompetensi para pencurhat sebagai guru, sekaligus memberi informasi bahwa dalam praktiknya, guru pun terkungkung oleh aturan yang harus dipatuhi sebagai syarat mutlak mengikat, tetapi mengekang kreativitas dan inovasi yang lebih dibutuhkan asupannya oleh siswa.
Itulah fakta di lapangan tentang pendidkan kita yang masalahnya terus membelit ujung tombak pendidikan=guru.
Dari narasi deskripsi curhatan juga tersurat-tersirat, si pencurhat itu kira-kira guru-guru di tataran mana. Tetapi kasusnya sama hampir di seluruh wilayah Indonesia.Â
Ayo para guru, mana yang wajib dikedepankan agar tujuan pendidikan tercapai? Menjadi guru yang gelas kosong? Atau gelas penuh? Menjadi guru yang sibuk melengkapi administrasi demi ambisi dan prestasi pribadi? Bukan menjadi guru yang praktisi karena menguasai kompetensi demi berhasilnya siswa?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H