Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Curhatan Guru: Guru, Pendidik atau Administrator?

8 September 2022   14:14 Diperbarui: 8 September 2022   15:00 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lengkaplah penderitaan pendidikan di Indonesia. Kemampuan siswanya terus berkutat pada tataran mengingat. Karena gurunya hanya disibukkan dengan kelengkapan administrasi pembelajaran, narasi-narasi yang jiplak sana, jiplak sini. Tinggal copypaste, tinggal donwload, pun lemah literasi, maka para guru tidak terbudaya berimajinasi yang seharusnya melahirkan kreativitas dan inovasi. 

Itulah sebab, pendidikan indonesia terus berkutat pada benang kusut, karena ujung tombaknya terus dibiarkan bermasalah. Siapa yang ada andil di dalamnya? 

Jawabnya karena kawah candradimuka yang melahirkan guru bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) diamputasi. Padahal seharusnya IKIP dibenahi dari segala aspek, terutama Kurikulumnya, sebab saat masih ada IKIP,  calon guru sudah lulus plus bekal Ijazah Akta 4 (Sim mengajar).

IKIP di hapus, semua calon guru dilahirkan dari Universitas dan Institusi lain. Lulusannya minus SIM mengajar. Lalu, dibikin proyek bernama Sertifikasi Guru, yang bila diselami, ada apa di balik proyek Sertifikasi Guru yang sistemnya terus mengalami perubahan? Tetapi tetap saja melahirkan guru berseetifikasi yang sekadar formalitas, bukan kualitas? Hanya dalih untuk menyedot anggaran pendidikan, tetapi hasilnya tidak signifikan. Anggaran pendidikan besar, hasilnya terus melahirkan SDM yang mentah intelegensi dan personality.

Akibatnya, sekolah yang sewajibnya melahirkan anak-anak Indonesia berkompeten dalam proses mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi, hanya melahirkan budaya menjiplak, copypaste, dan menjadi bangsa pemakai produk asing, karena lemah kreativitas dan inovasi. Bagaiamana kondisi siswa, itulah cerminan kondisi gurunya.

Hanya cari prestasi diri

Kusutnya pendidikan di Indonesia, pemicu yang hingga saat ini tidak bisa dipotong kompasnya adalah menterinya cari prestasi hanya dalam tempo masa jabatan dengan program bikinannya yang terus mengobok-obok program menteri sebelumnya, padahal pelaksana program, sekolah dan guru belum menguasai program yang dibuat menteri sebelumnya, menteri baru bikin kisah program baru. Jadi, selama 77 tahun Indonesia merdeka, proses pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan dan amputasi program, yang tidak menyekesaikan masalah, tetapi terus menciptakan masalah baru bagi dunia pendidikan yang terus terpuruk.

Di tataran pelaksana, mulai dari pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, yang dipikirkan bagaimana cepat dan bisa naik jabatan dan golongan (PNS/Swasta=sama saja). Yang dicari prestasi pribadi, demi gaji naik, tunjangan bertambah, dan sertifikasi. 

Prek omongan kompetensi guru, kompetensi guru penggerak yang jauh panggang dari api. Prek omongan siswa hanya dapat hasil belajar ingatan/hafalan, bukan didikan sampai siswa mampu memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Siswa yang seharusnya terus menjadi gelas kosong, ikutan menjadi gelas penuh, karena guru dan sekolahnya meneladani dengan gelas penuh.

Saya ibaratkan gelas penuh itu=sok, artinya berlagak (suka pamer dan sebagainya), merasa mampu dan sebagainya, tetapi sebenarnya tidak.

Sudah teridentifikasi hanya sekadar layak, belum kompeten, sertifikat sertifikasi guru, hanya buat formalitas, tetapi perilakunya malah banyak yang meneladani sok. Bukan meneladani sebagai gelas kosong, tetapi bangga menjadi gelas penuh. Identiknya, sombong, sok tahu, sok pintar, sok cerdas, sok hebat, sok memahami, sok menguasai, dan sejenisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun