Menjadi gelas penuh= miskin literasi= sombong, sok tahu. Menjadi gelas kosong= rendah hati, terus ada keinginan untuk mencari tahu dan belajar tanpa berhenti?Â
(Supartono JW.08092022)
Saat Kurikulum Merdeka berlaku, tahun ajaran baru 2022/2023, banyak siswa malah lebih lama di penjara di sekolah. Orangtua siswa bingung, karena anaknya tersisa waktu sedikit untuk kembali ke rumah. Pengembangan minat dan bakat di luar sekolah pun tidak dapat lagi diikuti dengan waktu yang normal atau malah berhenti.
Padahal, bukan rahasia lagi, anak-anak malah dapat menyalurkan potensi minat dan bakatnya di wadah profesional luar sekolah yang dapat menggaransi menjadi manusia Indonesia berkarakter, luhur budi, tahu diri, peduli, punya simpati-empati, rendah hati, sampai membumi. Bahkan dari pengembangan minat dan bakat yang ditekuni serius, sampai mengantar anak menggenggam mata pencaharian untuk kehidupannya di kehidupan nyata, bukan dari bangku sekolah.
Saat segenap civitas akademika +62 berharap Jalur Mandiri masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dihapus, sebab sudah terbukti menjadi lahan korupsi dan praktik suap, Menristekdikti, Nadiem malah punya rencana menghapus Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang secara otomatis, tidak lagi membutuhkan kemampuan siswa menguasai materi mata pelajaran yang sudah susah payah sekadar diajarkan, belum terdidik di sekolah. Maka, mata pelajaran akan menjadi materi pembelajaran yang dianggap tidak penting oleh siswa. Mata pelajaran akan hilang wibawa.
Padahal selama ini, siswa datang ke sekolah, tujuannya untuk belajar berbagai mata pelajaran. Hasilnya, kemampuan berpikir siswa, masih saja terus berpusar dan berkutat di situ-situ saja. Di area ingatan (hafalan). Inilah yang membuat pendidikan Indonesia terus terpuruk, sebab guru sebagai ujung tombak pendidikan faktanya masih terus lemah kualitas, kuantitas pun tidak sebanding dengan jumlah siswa di Indonesia (PAUD, SD, SMP, SMA/SMK). Fakta data ini dapat disimak dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS).
Benang kusut guruÂ
Guru lemah kualitas, juga terus berkutat pada masalah kelayakan, kompetensi, dan sertifikasi. Dianggap layak karena lulus S1/D4. Perbandingan jumlah guru yang layak dan tidak layak, pemenangnya=yang tidak layak.
Dari sisi kompetensi, kemampuan kualitas guru dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial, praktiknya masih jauh panggang dari api, tetapi administrasinya ada dan menyatakan guru kompeten.
Kini, ada tambahan label guru, namanya guru penggerak. Syaratnya wajib memiliki kompetensi mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran, memimpin pengembangan sekolah, dan memimpin manajemen sekolah.
Untuk menjadi guru penggerak, syaratnya juga banyak berkutat pada administrasi dan narasi-narasi. Tetapi praktiknya banyak terbukti antara administrasi dan narasi yang dibuat, praktiknya tidak sesuai. Jangankan memenuhi 4 kriteria kompetensi sebagai guru penggerak. 4 Kompetensi sebagai guru biasa saja masih terus tercecer.