Memang, tidak semua sekolah melakukan hal yang sama, namun karena ketidaksamaan inilah, membuat program minat dan bakat siswa di luar sekolah pun ikut berantakan. Efeknya nyata terhadap program pendidikan, pelatihan, dan pembinaan yang tidak dapat dijalankan sesuai tujuan dan sasaran. Lebih parah, dari segi anggaran, juga tergerus signifikan.
Apakah hal ini terjadi di seluruh Indonesia? Bila ya, maka sebab pendidikan kita terus terpuruk, salah satu sumber utamanya adalah Kurikulum yang berganti-ganti baju, namun dalam praktik dan implementasinya, anak-anak Indonesia di level SD, SMP, dan SMA sederajat bukannya memiliki waktu lebih sedikit di sekolah, tetapi mendapatkan hasil pendidikan yang berkualitas.
Tetapi kondisinya malah berulang, anak-anak justru kembali terpenjara lebih lama di sekolah. Pertanyaannya, apakah sekolah dan para gurunya menjamin dan menggaransi anak didiknya akan menjadi manusia cerdas berkarakter, manusia unggul harapan Indonesia? Sebab, selama puluhan tahun dunia pendidikan dan pengajaran Indonesia terpuruk. Terus tercecer dari negara Asia Tenggara lain.
Sementara, meski ada program Uji Kompetensi Guru (UKG), ada program sertifikasi guru, namun hasilnya tetap belum signifikan sesuai tujuan yang diharapkan. Tetap banyak keluhan bahwa anak didik setiap level lulusan belum sesuai harapan dalam hal kemampuan menerapkan, mempraktikkan pedagogi (kognitif, afektif, psikomotor) dalam kehidupan nyata. Masih miskin pedagogi.
Masih menggaung, rakyat bangsa ini masih lekat dengan predikat bangsa copypaste, bangsa pemakai produk dan karya orang lain, karena tidak cerdas otak dan hati, sebab gagal di dunia pendidikan, ujungnya miskin kreatifvitas, miskin imajinasi, miskin inovasi. Tetapi kaya hedonisme, kaya kelicikan, dan kaya koruptor.
Yang terus dibangun hanyalah insfrastrukur demi target dan tujuan politik, tetapi sumber daya manusia (SDM) terus menjadi sektor yang memprihatinkan. Mungkinkah ini memang disengaja?
Pertama kali di +62 sekolah formal menjajah siswa?
Atas kisah nyata tersebut, khusus dari dunia sepak bola akar rumput seputar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), sudah resah.
Semoga di wilayah lain, para pegiat sepak bola akar rumput atau olah raga lain atau kegiatan lain yang menampung dan menyalurkan bakat dan minat anak-anak Indonesia di bidang olah raga dan bidang lain di luar sekolah formal, tidak turut resah, karena anak-anaknya kini tersandra di sekolah lebih lama di banding tahun ajaran sebelumnya.
Pasalnya, khusus di sepak bola akar rumput, sejak nama Sekolah Sepak Bola (SSB) digaungkan oleh PSSI di bawah Agum Gumelar tahun 1999 melalui turnamen Kid's Soccer Tournamen yang diikuti oleh 16 SSB terpilih dan disebut SSB Pelopor di Indonesia (ASIOP, Bina Taruna, Mutiara Cempaka, Sukmajaya, Gala Puri, Bekasi Putra, Pelita Jaya, Jayakarta, BIFA, Pamulang, Harapan Utama, Bintaro Jaya, Bareti, Camp 82, Depok Jaya dan Kemang Pratama), baru kali ini, proses KBM di sekolah formal, menganggu jadwal dan program pendidikan, pelatihan, dan pembinaan.
Peranan dan fungsi SSB dalam pendidikan, raih Piala AFF U-22 2022