Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pendidikan Timnas U-16, Apakah Cerminan Dunia Pendidikan Indonesia?

15 Agustus 2022   12:05 Diperbarui: 15 Agustus 2022   12:16 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jangan permalukan diri sendiri karena sok tahu. Selalu belajar dalam tindakan menulis, berbicara, berpendapat, berkomentar, dan menyikapi segala sesuatu karena paham dan tahu. Dalami segala kisah, peristiwa, berita, bukan sekadar membaca dan tahu judulnya. Jadilah pandai berpendapat dan beropini karena kuat fakta, data, kedalamannya.

(Supartono JW.15082022)

Tim Nasional Sepak Bola Indonesia di bawah usia 16 tahun (U-16) adalah cerminan PETA KECIL pendidikan terhadap anak Indonesia yang berhasil dari jalur nonformal. Mengharumkan nama dan membanggakan bangsa, negara, serta rakyat Indonesia. Pondasi prosesnya dari sepak bola akar rumput yang terbiarkan nama dan tanpa bantuan anggaran. Jauh dari hirup pikuk rumus akademis dan akademisi.

(Supartono JW.15082022)

Keberhasilan Timnas Sepak Bola Indonesia U-16 meraih gelar Piala AFF U-16 2022, adalah kerja besar yang sudah dilakukan oleh pegiat sepak bola akar rumput Indonesia. Bukan kerja instan PSSI atau Pemerintah.

Nama SSB tidak ada, tidak dianggap

Karenanya saat Ketua Umum PSSI dan Menpora RI ikut-ikutan naik podium dan menjadi yang pertama mengangkat Piala AFF U-16 2022 bersama kapten U-16, sampai menjadi cibiran dan perbincangan publik Indonesia di media sosial (medsos)

Saya sangat memahami mengapa publik sepak bola nasional geram atas tindakan Ketua Umum PSSI dan Menpora RI. Sebab, yang seharusnya diminta naik podium dan turut mengangkat Piala adalah para pegiat SSB dan para Orangtua pemain yang telah berdarah-darah mencurahkan waktu, tenaga, dan biaya, hingga anak-anak yang mereka didik dan bina, sampai layak direkrut oleh tim bernama Tim Nasional.

Para pegiat SSB, demi SSBnya terus hidup, meski tidak semua Orangtua dan Siswa membayar iuran, sampai rela menjual ini dan itu, ada yang sampai hutang ke Bank dengan menggadaikan sertifikat kendaraan/rumah, demi membiaya SSB dan membiaya kompetisi yang diikuti oleh SSBnya. Tidak ada bantuan biaya dari PSSi mau pun dari pemerintah.

Apa sih, yang sudah dilakukan Ketua Umum PSSI dan Menpora RI terhadap sepak bola akar rumput Indonesia? 

Sadarkah mereka berdua, bahwa sepak bola akar rumput Indonesia, wadahnya masih terus dibiarkan salah kaprah, tidak pernah ada pembakuan, apalagi ada regulasi dan kompetisi resmi atas nama SSB/Akademi di bawah bendera PSSI? 

Soeratin, EPA atas nama Klub, pemain dari mana, wajib surat keluar

PSSI hanya menyelenggarakan turnamen Piala Soeratin, Turnamen Elite Pro Academi (EPA) yang tidak menyertakan nama SSB sebagai pemilik dan pembina asli anak-anak. Piala Soeratin digelar tetapi atas nama Klub, dan hanya dalam bentuk turnamen, bukan kompetisi. Paham apa itu turnamen? Apa itu kompetisi, kan?

EPA di gelar bukan dalam bentuk kompetisi, tapi sekadar turnamen, juga atas nama Klub, bahkan pemain asli binaan SSB yang bergabung atau direkrut oleh Klub, regulasinya wajib meminta SURAT KELUAR dari SSB. 

Jadi, SSB yang terus berjasa melahirkan talenta pesepak bola harapan bangsa Indonesia, proses dan perjuangannya,
telah terbukti berkali-kali, wadah sepak bola akar rumput bernama SSB terus menjadi andalan pondasi Timnas U-16/U-17/U-18/U-19/U-20 yang asli di Indonesia. Tetapi SSB pun terus dijadikan sapi perah dan tempat mengambil keuntungan, tidak dihargai.

Host dan komentator menyakiti

Dalam artikel ini, saya pun kembali mengingatkan kepada host dan komentator siaran langsung di televisi. Sepanjang gelaran turnamen AFF U-16, mereka terus lebay mengumbar profil pemain dan siapa yang telah mendidik dan membinanya, tetapi tidak paham kisah aslinya. 

Ujungnya, sepanjang AFF, saat siaran langsung, banyak publik sepak bola nasional yang mengirim chat kepada saya, kecewa kepada host dan komentator yang menginformasikan profil dan perjalanan pemain sampai direkrut Bima Sakti tidak utuh dan tidak sesuai fakta. Ujungnya menyakiti para pembina asli anak-anak itu.

Saat host dan komentator di televisi yang sok tahu, dan menyebut anak-anak ini hasil binaan tim ini, SSB ini, akademi ini, tetapi tidak tahu sudah berapa kali anak-anak tersebut singgah dari SSB ke SSB, lalu singgah ke tim yang sok-sok-an namanya pakai akademi, tetapi syarat standar akademinya saja tidak lulus, hanya gaya-gaya-an. Justru, semakin menunjukkan pengetahuan si host dan komentator rendah. Karena asal bicara yang mereka ketahui di permukaan.

Pahami dulu, anak-anak itu asal muasalnya di bina di SSB aslinya mana? Sebab, SSB awal atau asli anak-anak Timnas U-16 begitu mudah diabaikan. Padahal SSB awal atau aslinyalah yang sejatinya membekali anak-anak pendidikan sepak bola.

Selalu menyebut SSB atau akademi/klub ini itulah, tapi tidak tahu SSB awal pemain itu dari mana? Apa SSB terakhir yang harus disebut jadi pahlawan? Apa akademi yang hanya meneruskan dari SSB yang jadi pahlawan? Atau Klub terakhir yang menjadi pahlawan? Apa hanya turnamen dan kompetisi itu yang mengasah pemain?

Jadi, kepada para host, komentator, juga para awak media, jangan mengumbar hal yang hanya kalian ketahui kebenaran atau berita terakhirnya yang hanya sepotong. Ketahuilah, saat Anda menyebut atau menulis profil anak-anak U-16 dan siapa yang ada di belakangnya, publik sepak bola nasional yang tahu kisah asli perjalanan anak-anak itu, menertawai Anda sekaligus sedih. Sebab, Anda-Anda juga wajib belajar dan tahu lebih dalam tentang sepak bola akar rumput agar tidak menyakiti para pegiat asli dan sejati.

Belajarlah kepada Bima Sakti!

Ketua Umum PSSI, Menpora, Host dan Komentator di televisi, serta awak media, belajarlah kepada  Bima Sakti agar tidak menyakiti, mempermalukan diri sendiri, terlihat bodoh sendiri, belajarlah kepada Bima Sakti.

Seusai laga, dengan rendah hati, Bima Sakti di depan kamera televisi langsung menyebut dan mengatakan siapa yang ada di balik U-16 hingga meraih Juara Piala AFF U-16 2022.

"Saya ucapkan terima kasih kepada para pemain yang dididik oleh akademi, SSB dan orang tua juga, mereka itu yang paling berjasa," kata Bima kepada wartawan.

"Kalau saya pelatih di timnas hanya meneruskan saja. Tapi yang paling penting dan paling berjasa adalah orang tua yang mendidik mereka, pelatih di SSB dan akademi," ujarnya menambahkan.

Mustahil Bima Sakti tidak memahami perjalanan pendidikan sepak bola anak-anak di akar rumput, asli awalnya dari SSB mana, terus mengembangkan diri ke SSB mana, akademi mana, Klub mana. Karena Bima Sakti tahu persis sejarah perjalanan para pemain, maka hal pertama yang dilakukannya di depan kamera televisi adalah terima kasih kepada siapa? Serta sadar diri di Timnas hanya meneruskan perjuangan berdarah-darah yang faktanya sudah dilakukan oleh siapa?

Dalam petikan dua paragraf ucapan terima kasih Bima Sakti, keduanya memuat kata didik dan mendidik. Bukan ajar atau mengajar. Kira-kira apa maksud di balik itu? 

Peta kecil keberhasilan pendidikan

Dalam perjalanan anak-anak U-16 di AFF U-16 2022, saya sudah menulis artikel bersambung, yang di dalamnya sudah saya pastikan bahwa Bima Sakti berhasil mengawal anak-anak adalah dengan bekal Pendidikan Pedagogi ala Bima Sakti. Bukan, Pengajaran Pedagogi ala Bima Sakti.

Selama ini, mengapa pendidikan di sekolah formal terus terpuruk dan sulit menghasilkan siswa/pelajar yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, sopan dan santun, tahu diri, peduli, rendah hati?

Alasannya, para guru masih terus berkutat pada mengajar, terbebani materi yang harus selesai sebelum waktu tes/ujian. Terbebani pencapaian Kurikulum yang bahkan kini ada pilihan Kurikulum Merdeka. Entah, setelah ini akan ada jenis Kurikulum apa lagi. 

Tapi, wujud yang dilakukan para guru di kelas tetap saja dalam kategori mengajar, belum mendidik, dan terus masih miskin kreativitas dan inovasi.

Dalam artikel-artikel tentang pendidikan yang sudah saya tulis, tidak terhitung sudah berapa kali saya mengulas menyoal mengajar dan mendidik dan akibatnya bagi siswa perilaku siswa siswa bersangkutan baik di dalam kelas, di dalam sekolah, di dalam rumah/keluarga, dan di dalam kehidupan masyarakat, dunia nyata, hingga sumbangsihnya untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Mana siswa yang lebih berhasil dan berkontribusi menyumbang nama baik dan hal-hal yang membanggakan dirinya, sekolah, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara? Apakah siswa yang hanya menerima pengajaran atau siswa yang didik oleh para guru dan sekolahnya?

Bima Sakti, menyebut kata didik dan mendidik, dan dia sendiri juga meneruskan mendidik anak-anak di gerbong U-16 dengan bekal pedagogi ala dirinya, maka wujudnya nyata. Ukurannya, saya sebut hasil didikan Bima Sakti, yang pondasinya sudah dibekali oleh para pegiat sepak bola akar rumput yang mendidik mereka adalah menorehkan rapor TIPS yang standar untuk prasyarat sebuah tim bernama  Timnas. Karena mencapai target TIPS standar, tim pun meraih gelar juara yang tidak sekadar mengangkat trofi.

Tetapi Bima berhasil melanjutkan dengan pedagogi ala dia, mendidik intelegensi, personality, teknik, dan speed anak-anak menjadi anak-anak yang TIPS mengerucut pada pribadi yang berkarakter, luhur budi, menghargai, tahu diri, peduli, rendah hati, membumi dengan ibadah sebagai pondasinya.

Kementerian pendidikan?

Kementerian Pendidikan dan stakeholder terkait hal pendidikan di Indonesia, menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) ke-77, ada kado manis bagi Bangsa, Negara, dan seluruh rakyat Indonesia, yaitu Tropfi AFF U-16 2022 di tengah hasil  pendidikan formal di Indonesia yang masih dalam kondisi terpuruk.

Trofi ini dipersembahkan oleh anak-anak belia usia di bawah 16 tahun (U-16) yang mewakili anak seusianya di seluruh  Indonesia. Mereka tergabung dalam gerbong Tim Nasional Sepak Bola Indonesia di bawah naungan PSSI. Di dalam gerbong itu juga ada pengajar/pendidiknya.

Sehingga, gerbong yang tidak berbeda dengan sebuah kelas di suatu sekolah formal/informal, dalam proses pengajaran dan pendidikannya mengarungi turnamen sepak bola antar negara seluruh Asia Tenggara, berhasil menjalankan visi-misi, tujuan, sasaran, targetnya, dan mampu meraih apa yang didambakan, dicitakan, karena setiap bagian dari gerbong tersebut berproses secara benar dan baik. 

Gerbong itu pun, melanjutkan dari pendidikan dan pembinaan yang telah dilakukan oleh para pegiat sepak bola akar rumput yang terlebih dulu membekali pondasi TIPS anak-anak ala pegiat sepak bola akar rumput di wadahnya. Sebab, tidak ada Kurikulum baku yang dapat dijadikan acuan dengan benar, bahkan tidak berbau akademis.

Walau pun begitu, keberhasilan anak-anak U-16 ini adalah keberhasilan kolektif dan tidak sepotong-sepotong dalam prosesnya, Tidak instan. 

Ada beberapa kata yang bisa menjadi kunci bagi kita semua agar langkah yang kita lakukan, khususnya dalam membentuk dan mengembangkan diri sendiri, anak-anak, orang lain, tim, keluarga, instansi, institusi, parlemen, hingga pemerintahan dll, tujuan dan cita-citanya tercapai.

Menyentuh anak-anak usia dini dan muda di semua bidang, sebab mereka adalah pondasi, para pelakunya wajib memiliki bekal ilmu, pendidikan, dan pengalaman yang tidak boleh main-main. Agar berhasil pun, ada kata-kata dasar yang wajib dikuasai kedalamannya.

Kata-kata dasar itu harus kuat dipahami agar kita tidak salah paham, tidak salah mengerti, tetapi dikuasai makna dan bagaimana cara mencapainya agar berhasil. Kata-kata yang sangat lekat dengan dunia pendidikan dan pembinaan adalah:
1. Apa itu hasil?
2. Apa Apa itu ajar?
3. Apa itu belajar?
4. Apa itu mengajar?
5. Apa itu pengajar?
6. Apa itu pengajaran?
7. Apa itu didik?
8. Apa itu mendidik?
9. Apa itu didikan?
10. Apa itu pendidik?
11. Apa itu pendidikan?

Bila diurai, sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (1) Hasil adalah sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan, dan sebagainya) atau pendapatan, perolehan atau akibat (dari pertandingan, ujian, dan sebagainya),  atau tidak gagal.

(2) Ajar, ajaran adalah petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). (3) Belajar yaitu berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. (4) Mengajar adalah memberi pelajaran, melatih, memarahi (memukuli, menghukum, dan sebagainya).

Selanjutnya, (5) Pengajar yaitu orang yang mengajar (seperti guru, pelatih). (6) Pengajaran adalah proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan, perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar, peringatan (tentang pengalaman, peristiwa yang dialami atau dilihatnya), mikro teknik pelatihan mengajar yang jumlah muridnya dibatasi, remedial pengajaran yang diberikan khusus untuk memperbaiki kesulitan belajar yang dialami murid.

Berikutnya, (7-8) Didik, mendidik, yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. (9) Didikan adalah hasil mendidik, anak atau hewan yang dididik, cara mendidik. (10) Pendidik yaitu orang yang mendidik (guru, pelatih).

Sementara (11) Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.

Sesuai makna sebelas kata tersebut, mengapa Bima Sakti hanya menyebut dua kata dalam ucapan terima kasihnya, yaitu dididik dan mendidik? Bisa dianalisis sendiri sesuai makna KBBI dan fakta atau bukti, hasil yang ditorehkan U-16.

Lalu, apa yang bisa dijadikan pelajaran bagi dunia sepak bola akar rumput Indonesia dan PSSI khususnya? Umumnya, apa yang bisa dipetik hikmahnya oleh dunia pendidikan formal dan nonformal di Indonesia?

Hasil dan keberhasilan akan sesuai visi-misi, tujuan, diproses dengan benar tidak hanya dicekoki ajaran/pengajaran, tetapi pendidikan yang benar. Pelakunya berbekal pendidikan, berkompeten, berpengalaman, kreatif, imajinatif, inovatif, menguasai pedagogi secara akademis atau pun otodidak. Bukan oleh sembarangan, serabutan, dan instan, terus lahir budaya tawuran/kerusuhan (pelajar/mahasiswa/suporter dll)

Akhirnya. Keberhasilan Timnas U-16, yang prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan, digarap di pondasi sepak bola akar rumput, dibiayai oleh orangtua dan pegiat SSB, dilanjutkan oleh Bima Sakti, wajib menjadi cermin pendidikan di Indonesia yang terus terpuruk dan terus berkubang dalam benang kusut.

(Supartono JW.15082022)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun