Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Dijadikan Prioritas, Balasannya Pilihan

17 Juni 2022   15:02 Diperbarui: 17 Juni 2022   16:53 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Tetaplah ikhlas menjadikan "mereka" PRIORITAS, meski "mereka" hanya menjadikan kita PILIHAN karena kendala hati dan pikiran.

(Supartono JW.17062022)

Dalam dunia politik, pemerintahan, berbangsa dan bernegara, bicara prioritas dan pilihan seringkali hanya menjadi kendaraan, bagian dari intrik dan taktik karena menjadi skenario demi mendukung kepentingan dan kepentingan, keuntungan dan keuntungan.

Namun, dalam kehidupan nyata rakyat jelata, persoalan prioritas dan pilihan, adalah masalah hati dan pikiran, kepribadian, mental, dan kecerdasan.

Apakah kita pernah menjadikan orang lain adalah PRIORITAS dalam kehidupan kita pada hal tertentu. Tapi, saat mereka kita jadikan prioritas, kita hanya mendapat balasan hanya menjadi PILIHAN oleh orang lain dalam hal tertentu tersebut.

Secara manusiawi, tidak dijadikan prioritas oleh orang yang justru kita prioritaskan memang tidak enak. Tetapi bagaimanapun, kita tetap tidak bisa memaksa orang lain untuk menjadikan kita prioritas mereka.

Itu adalah hak mereka, mau menganggap kita apa hanya sebagai pilihan atau apa  pun. Dan, bila kita dianugerahi intelegensi (otak, pikiran) dan personality (hati, kepribadian, mental) yang cerdas, maka kita akan berbesar hati, sebab menjadi tahu siapa mereka yang kita prioritaskan, namun membalasnya dengan hanya menjadikan kita pilihan.

Sadari bahwa sampai detik ini, masih ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Sampai detik ini, masih ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu. Bersyukur bahwa sudah ada orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Bersyukur bahwa sudah ada orang yang tahu bahwa  dirinya tahu.

Bagi siapa saja yang pernah mengalami hal ini, tetapi tetap berbesar hati karena cerdas otak dan mental, sudah menjadi orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, apalagi sudah menjadi orang yang tahu bahwa dirinya tahu, maka tahu bagaimana kita harus bersikap?

Menyikapinya

Dari berbagai literasi dan pengalaman kehidupan dan dunia pendidikan yang saya tekuni, bila kita tidak menjadi prioritas oleh orang yang kita prioritaskan, sikap bijak kita di antaranya:

PERTAMA, karena mereka kita prioritaskan, tetapi membalas dan hanya menjadikan kita pilihan, maka kita harus tegas dan jujur, lalu bersikap. Apakah persaudaraan, pertemanan, kekeluargaan, hubungan (hati, pekerjaan, dll) akan dilanjutkan, menjadi hubungan biasa saja, atau diakhiri.

KEDUA, tetap percaya diri bahwa kalau kita tetap memiliki harga (berharga) dengan apa yang kita lakukan dan perbuat karena demi orang lain hingga demi kemaslahatan. Saat ada yang menjadikan kita pilihan, maka di saat yang sama, tentu dengan melihat fakta kebaikan, akan datang orang lain yang menjadikan kita prioritas.

Agar tidak mengurangi nilai diri, tetap ada harga, kita juga tetap melakukan refleksi dan instrospeksi, karena ada yang menjadikan kita hanya pilihan. Sebab, biasanya yang menjadikan kita pilihan, walau sudah kita prioritaskan adalah orang-orang yang patut kita kasihani karena tak cerdas intelegensi dan personality tak tahu diri dan tak tahu membalas budi.

KETIGA, bila kita tahu siapa orang yang sudah kita prioritaskan namun mereka menjadikan kita hanya pilihan, maka jangan dimasukkan ke hati. Sebab, mereka bisa jadi memang belum pernah belajar dan belum punya pengalaman dalam kehidupan yang saling membutuhkan dan dibutuhkan, saling mengisi dan melengkapi.

Orang-orang golongan ini mungkin masuk kategori "Orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu." Jadi, perlu pendidikan, bimbingan, dan pembinaan lagi.

KEEMPAT, memahami dan mengambil sikap tegas atas orang-orang yang menjadikan kita pilihan. Kemudian tetap fokus dan konsisten dalam langkah kita, terus kembangkan kreativitas dan inovasi demi kebaikan dan kemaslahatan langkah kita.

KELIMA, terus perluas jaringan. Pertemanan, kekeluargaan, persaudaraan,   kolega, dan lain-lain yang saling memprioritaskan.

Akibat dari kondisi ini, maka masyarakat bangsa kita, masih terus bergulat sekadar menjadi bangsa pemakai produk asing, karya orang lain. Menjadi bangsa penjiplak karena lemah imajinasi, kreativitas, dan jauh dari budaya inovatif. Maunya dikasih tapi tidak mau timbal balik. Maunya untung dengan modal dan kompetensi rendah.

Rendah budaya peduli, simpati, empati, tahu diri, dan tahu membalas budi. Tetapi dekat dengan tinggi hati, mementingkan diri sendiri. Tidak tahu etika, tidak tahu malu, tidak tahu diuntung, tidak tahu berterima kasih, dll.

Malah, karena kendala hati dan pikirannya yang lemah dan tak cerdas, sampai ada yang menelikung dan menusuk dari depan, samping, belakang, dan dari dalam, demi kepentingan dan keuntungan pribadi, kelompok, dan golongannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun