Sejak Litbang Kompas menerbitkan hasil survenya tentang vitalnya menindak tegas influencer atau buzzer porvokatif yang memperkeruh situasi untuk mencegah polarisasi yang meruncing sejak Pilpres 2019 di Harian Kompas, Senin (6/5/2022) pun dikutip oleh berbagai media massa lainnya, ternyata hingga detik ini, pemerintah nampaknya tetap tidak bergeming.
Sebelumnya, sebagai rakyat jelata, saya sudah berkali-kali menulis agar pemerintah menindak tegas para influencer atau buzzer porvokatif ini yang hidupnya hanya membuat keruh suasana, membuat perpecahan, nyinyir nantangin siapa saja yang tidak segerbong.
Di berbagai media massa dan media sosial, berbagai pihak dan masyarakat juga sangat gerah atas kehadiran dan keberadaan para influencer atau buzzer porvokatif ini, sampai pada akhirnya ada kejadian nyata,  salah satu sosok  yang selama ini dianggap influencer atau buzzer porvokatif digebuki massa yang sudah menunggu kemunculannya.
Tetapi pemerintah dengan petugasnya malah seolah melindungi para influencer atau buzzer porvokatif ini, padahal tindakan dan perbuatannya jelas-jelas telah melanggar Sila-Sila dalam Pancasila.
Sementara, pemerintah dan putugasnya, sangat mudah menangkapi dan memenjarakan pihak-pihak dan rakyat jelata yang dianggap membahayakan NKRI.
Kini, Litbang Kompas pun akhirnya melakukan survei atas keberadaan influencer atau buzzer porvokatif. Hasil survenya dapat ditebak. Tentu sesuai dengan apa yang selama ini diresahkan oleh rakyat.
Setelah survei Litbang Kompas, rakyat menunggu, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap para influencer atau buzzer porvokatif karena dataya menunjukkan hasil pentingnya menindak tegas influencer atau buzzer porvokatif yang memperkeruh situasi untuk mencegah polarisasi yang meruncing sejak Pilpres 2019.
Luar biasa, ada sebanyak 87,8 persen responden yang terlibat dalam survei menyatakan hal tersebut.
"Tentu pemerintah memiliki instrumen untuk memilah mana yang provokatif mana yang tidak sehingga bisa memberi iklim yang kondusif bagi demokrasi," tulis peneliti Litbang Kompas Gianie, seperti dikutip dari Harian Kompas, Senin (6/6/2022).
Hasil survei lainnya, ada 90,2 persen responden yang meminta kedua kubu pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019 diminta menahan diri untuk tidak saling berkomentar di media sosial yang dapat menimbulkan kebencian atau kemarahan.
Lalu, ada 84,6 persen responden meminta upaya lain, yaitu yang tergolong mudah dilakukan adalah mulai mengakhiri penggunaan istilah atau label "cebong" dan "kampret/kadrun" di dalam percakapan, baik di dunia maya atau dunia nyata.
Pengumpulan pendapat oleh Litbang Kompas dilakukan melalui telepon pada 24-29 Mei 2022. Sebanyak 1.004 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi diwawancarai. Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Metode ini, tingkat kepercayaannya sebesar 95 persen, nirpencuplikan penelitian 3,09 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan sampel dimungkinkan terjadi.
Pemerintah, tidak bergeming?
Setelah hasil survei dari Litbang Kompas ini membuktikan bahwa ada 87,8 persen masyarakat yang meminta influencer atau buzzer porvokatif ditindak tegas. Tentu maksud tindak tegas ini sebatas apa? Dan, jangan sampai menunggu ada kejadian sampai digebuki lagi dan masyarakat main hakim sendiri, bagaimana sikap pemerintah?
Maaf, Bapak Presiden Jokowi. Mengapa saya perhatikan, Bapak tetap tak bergeming dalam persoalan influencer atau buzzer porvokatif ini? Saya, dan jelas 87,8 persen rakyat sesuai survei Litbang Kompas, ingin influencer atau buzzer porvokatif itu lenyap dari muka bumi Indonesia.
Di sisi lain, menghadapi Pilpres 2024, berbagai pihak juga berharap tidak ada pembatasan tentang calon presiden dan wakil presiden, sehingga tidak ada lagi representasi dua kubu yang terus berseteru.
Dalam survei pun terbukti ada 85,3 persen responden yang sepakat perlu dilakukan rekonsilisasi antara kedua kubu untuk membangun kembali kerekatan hubungan di antara anak bangsa. Bukan hanya masalah radikalisme, khilafah, dll yang dianggap berbahaya bagi NKRI dan para pelakunya ditangkapi.
Ini influencer atau buzzer porvokatif juga sangat meresahkan. Mereka terus memproduksi bentuk-bentuk permusihan dan perpecahan dengan menggoreng berbagai isu atau narasi yang sejatinya tak harus menjadi sumber masalah atau bahan masalah.
Mereka terus nyanyikan itu dalam bentuk cuitan hingga terus bergulir perang opini, perang komentar negatif, hingga bila diungkapkan dengan bahasa tubuh, masyarakat yang cinta damai dan sudah move on dari kisah Pilpres, inginnya bukan menonjok muka para influencer atau buzzer porvokatif ini dengan kata-kata, tetapi benar-benar ingin menojok mukanya dengan kepalan tinju tangan.
Apa masih terikat kontrak kerja?
Bapak Presiden, setelah survei Litbang Kompas ini, masyarakat menunggu aksi dan tindakan nyata pemerintah dan petugasnya kepada para influencer atau buzzer porvokatif, lho.
Saya tulis ini, setelah hasil survei Litbang Kompas terbit Senin (6/5/2022), tapi hingga detik ini, seolah hasil survei ini sepertinya hanya dianggap sekadar survei-surveian. Padahal, tanpa ada survei pun, pemerintah juga tahu influencer atau buzzer itu provokator polarisasi.
Apa sampai sekarang mereka masih terikat kontrak kerja dengan junjungannya dan masih mendapat gaji dari uang rakyat. Apa kontrak mereka juga akan sampai Pilpres 2024, setelahnya terus mengawal sebagai provokator abadi?
Bagaimana Bapak Presiden? Maaf, rakyat menunggu aksi dan reaksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H